MALAIKAT YANG TERSESAT

MALAIKAT YANG TERSESAT
ilustrasi gambar Relawan TBM Lentera Hati
Page II : Malaikat Yang Tersesat
Jimy, Jimy. Hanya nama itu yang terus ia panggil. Mencegat tiap orang yang melintas dengan menanyakan seorang remaja sekitar tujuh belas tahun, tinggi, bermata agak sipit, dan seorang penyandang autisme.  Terus dan terus pertanyaan itu yang ia lemparkan pada tiap orang yang ia temui. Pun terus dan terus jawaban tidak ataupun gelengan kepala yang ia dapat.
            Matahari kian meninggi. Sedang Jimy masih belum ia temui. Ponselnya berdering. “Halo?”
“Kau dimana?”
“Menurutmu?”
“Ada apa dengan mu? Pulanglah!”
“Kau yang ada apa? Bisanya kau suruh aku pulang sedang puteramu hilang entah kemana. Apa kau tidak peduli? Bagaimana kalau..” Kalimatnya terhenti. Matanya terpaku pada pada seseorang yang duduk di ayunan sambil menggumam dan menggerak-gerakkan jarinya.
            Kakinya membawanya berlari ke sana. Ke tempat di mana yang namanya seharian ia panggil. Pelukan erat menyambut Jimy. “Ya Tuhaan Jimy, sayang.  Kau membuatku takut.”
“A, aku tidak bi, bisa bernaf, fas.” Jawab Jimy dengan susah payah. Ana melepas pelukannya dan memandang wajah Jimy yang sedikit berantakan. Goresan kecil dengan sedikit darah segar yang keluar dari pelipis serta ujung bibirnya. “Ada apa dengan wajah mu? Apa tadi kau jatuh?” jimy sama sekali tak menatap Ana. Ia hanya fokus pada ayunan yang mengayun ringan. “Jimy, ada orang yang menyakiti mu?”
“Batu. Ba, batu. Lempar. Batuuu!” Jimy mulai berteriak dan memukuli dadanya sampai menimbulkan suara seperti karunga pasir yang dipukul keras-keras. Ana mencoba menenangkannya. Namun Jimy makin sulit mengendalikan diri. Baru setelah dengan pelukan yang begitu erat, bisa sedikit menahan tangannya. “Ana. Ana. Ana.”
“Iya, sayang ini ana.” Jimy mulai tenang dan berbalas memeluk Ana. Jimy mulai tenang dan tersenyum kecil. Sedang Ana menyembunyikan tangisnya.
            Jimy menggandeng erat tangan Ana. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak taman. “Kau lapar?”
“Lapar?”
“Tadi pagi ku buatkan pancake ubi ungu untukmu. Tapi tidak jadi.”
“Kenapa, kenapa?”
“Kau hilang. Itu membutaku panik. Jadi kutinggalkan saja.”
            Jimy mennghentikan langkahnya. Terdiam sambil mengerak-gerakkan jarinya. “Sampah. Bukan. Sampah.”
“Ada apa?”
“Sampah. Apa?”
“Sampah itu benda-benda yang sudah tidak terpakai lagi dan kau harus membuangnya. Seperti ini.” Ana memungut botol plastik bekas dan membuangnya ke tempat sampah. “Tidaaak! Bukan. Aku bukan sampaaaah!” Jimy kembali berteriak dan mulai memukul-mukul dadanya keras-keras. Ana mencoba menghalanginya. “Ada apa? Siapa yang bilang kau sampah?”
“Tidaak! Sampah aku bukaaaan!”
“Tidak ada yang bilang kau sampah sayang.”
“Ayaah! Ayaah!” Ana mengerutkan alisnya sambil terus mencoba menenangkan Jimy. Lalu sesaat kemudian memeluk Jimy. Jimy yang selalu kesulitan mengungkapkan maksudnya hanya bisa memukuli dadanya keras-keras. Kemuduan mendorong Ana dan berlari. Walau tak berapa lama ia terhenti ketika Arya berdiri di hadapannya. Jimy berjalan mundur beberapa langkah sambil tetap menggerak-gerakkan jari-jarinya.
            Sesaat mereka sama-sama terdiam. Sampai Arya bertanya.”Kau sudah makan? Pergi kesana kemari pasti membuatmu lapar, kan? Ayo kita pulang dan makan bersama.” Ajakan Arya yang tiba-tiba membuatnya terdiam. Namun tak berapa lama, Jimy bersedia ikut dan meraih tangan Arya yang sedari tadi menunggu untuk direngkuh.
            Mereka berjalan beriringan. Sedang Ana mengikuti dari belakang. Melihat sosok seorang ayah untuk yang pertama kalinya dari balik punggung Arya.”Berjanjilah untuk tiidak membuat Ana khawatir.”
“Janji, janji.”
“Dan berjanjilah untuk tidak menyakiti diri mu. Dan membuat Ana sedih. Aku memang bukan ayah yang baik. Tapi akan lebih tidak baik membiarkan anak sendiri terluka.”
“Janji, janji.” Jawab Jimy sekenanya. Ana hanya tersenyum menyimak pembicaraan ringan ayah dan anak itu.
            Hanya ada pohon rindang dan daun-daun yang hijau. Serta hembusan lembut angin yang menggugurkan daun-daun kering. Jatuh dengan anggun dan memberikan kesan damai.
            Kaki membawa mereka tepat di beranda rumah dengan jejeran bunga-bunga yang ditanam Ana enam bulan terakhir. Mereka memasuki rumah menuju dapur. Jimy langsung berlari dan bergegas duduk di kursinya. Sedang Arya dan Ana menyiapkan bahan makanan yang akan disantap bersama.
            Tersusun rapih tumpukkan roti dengan selaan selada, daging asap, keju lembaran dan telur. Serta segelas susu yang Arya tuangkan untuk diberikan kepada Jimy. Namun Ana yang memergoki itu segera menyingkirkannya. “Apa yang kau lakukan?”
“Kau ini ayah macam apa? Kau mau memberi Jimy roti dan susu?”
“Memang kenapa?”
“Anak autis intoleransi dengan gandum dan susu. Berikan dia pancake ubi ungu. Kau harus mencari tahu lebih bnayak tentang autisme. Dan jangan sembarangan memberinya makan.” Penjelasan singkat Ana membuat Arya tertegun. Ia memandang Ana yang masih menyiapkan sarapan untuk Jimy.”Aku malu pada mu yang tahu lebih banyak tentang puteraku.”
“Sudah seharusnya. Berikan ini pada Jimy. Siang nanti aku akan memberinya nasi.” Jimy nampak senang dengan sepiring makanan favorit yang tersaji di hadapannya yang disantap dengan siraman madu yang membuatnya makin lahap menyantapnya.
            Arya tak bisa mengalihkan pandangannya dari Jimy. “Seberapa sering dia menyakiti dirinya sendiri.”
“Apa?”
“Kulihat dia memukul-mukul dadanya. Itu pasti sakit.” Sesering ia merasa sedih, sesering ia merasa tak nyaman dengan anggapan-anggapan yang tertuju padanya. Sedikit banyak Ana memnceritakan betapa sulitnya membuat Jimy tenang ketika mulai menyakiti diri sendiri.”Bukan hanya memukul dada. Kadang dia membenturkan dahinya ke tembok. Anehnya itu tidak melukainya sama sekali.” Bersama, mereka memandang Jimy yang sudah menghabiskan makanannya dan tersenyum. Lalu menyodorkan piringnya pada Ana.”Te, terimakasih. Enak. Suka.”
“Benarkah?” Ana mengambil piring dan mengusap rambut Jimy.
            Jimy menumpuk beberapa barang yang ia dapat. Hingga membentuk barisan di mana-mana. Arya yang berjalan sambil membaca laporan yang baru ia terima, tersandung dan hampir terpeleset.”Apa-apaan ini?!” Ana yang tengah mempersiapkan makan siang bergegas menuju ruang tengah. Bentakan Arya membut Jimy takut dan langsung memeluknya.”Apanya yang ada apa?”
“Kau tidak lihat? Aku hampir terjatuh karena tumpukkan rongsokan ini!”
“Tapi tidak harus membentaknya. Kau membuatnya takut.”
Suruh dia untuk tidak melakukan hal-hal bodoh lagi.” Arya berlalu sambil menyingkirkan tumpukkan barang-barang di depannya.
            Dua jarum, panjang dan pendek tiba di angka dua belas. Jimy tertunduk di kursinya. Nasi dan beberapa variasi lauk pauk tersaji apik dengan tampilan yang menggugah selera. Arya lahap menyantap hidangan sedang Jimy tak secuilpun menyentuhnya.”Ada apa, sayang? Mau kubuatkan yang lain?” Jimy hanya diam.”Lihat apa yang kau lakukan? Kau tidak bisa kasar padanya.”
“Kau ini temanku atau bukan?”
“Bukan. Aku pengasuhnya.” Mendengar Arya dan Ana mulai berdebat, Jimy bangkit dari duduknya. Sesaat terdiam, lalu pergi menuju kamarnya. Ana mengejar. Di sana ia mendapati Jimy sedang membariskan bebek karet, rubique, bola kasti, dan semua barang yang ia temui. Ana menghampiri Jimy yang benar-benar asyik denga apa yang sedang ia lakukan.”Jimy tidak lapar? Atau mau Ana bawa kemari makananya?” Jimy tetap bertahan dalam diamnya.
            Arya berdiri di depan pintu. Memperhatikan Jimy yang meski dibujuk tetap tidak mau beranjak. Ia mendekat dan menyeret tangan Jimy.
‘Ayo makan!” Jimy berontak dan mendorong Arya hingga tersungkur. Ana membantu Arya bangkit. Tatapan Jimy mengarah pada Arya yang nampak mulai marah.”Dasar anak sialaaan!!”
“Aaaaa!!!” Jimy berteriak ketika Arya hendak menghampirinya dan mulai memukul-mukul dadanya sampai terdengar seperti karung pasir yang dipukul keras-keras. Tak lama Jimy mulai membenturkan dahinya ke tembokdan terdengar seperti sesuatu yang menggetar keras.
            Ana dan Arya berusaha menghentikannya. Namun Jimy mendorong mereka hingga sungkur.”Jimy, hentikan sayaang. Itu akan menyakitimu. Kumohooon. Berhentilaaah.” Permintaan Ana sama sekali tak dihiraukan suaranya makin terdengar seperti dentuman keras. Berkali-kali ana mencoba untuk menghentikannya, dan berkali-kali juga Jimy mendorongnya.
            Arya yang sedari tadi hanya terpaku, tiba-tiba, memeluk Jimy. Seakan tak ingin melepaskannya walaupun Jimy terus mendorong dan berontak. Erat dan sangat erat sambil berbisik.”Maaf, maaf. Jangan seperti ini lagi. Ayah mohon. Berhentilah.” Sebutir air keluar dari sudut matanya. Seketika itu Jimy berhenti dan berkata.”Ayah, ayah.”


                                                                                                               Indramayu, 16 april 2012


Sampai di sini dulu ya.......... nanti di sambung lagi CERPEN berikutnya!!! NEXT
Karya : Sapitri Indah

Mohon maaf bila ada salah kata atau ucapan dalam penulisan kami ......

Untuk melihat kegiatan kegiatan TBM LENTERA HATI  lihat saja  DI SINI ya ..........
Untuk melihat puisi - puisi lainnya silahkan klik DI SINI
Untuk membaca cerita atau cerpen silahkan klik DI SINI
Untuk download Software,Game,atau Video tingggal klik DI SINI
Bagi yang suka baca berita seputar Indramayu silahkan klik DI SINI
Untuk yang suka membaca Novel DI SINI

Terima Kasih sudah mengunjngi Blog kami TBM LENTERA HATI
Kami tunggu Kritik dan Sarannya  !!!
**
Untuk teman teman yang mempunyai cerpen, puisi, novel, dan lainnya juka ingin di publish di sini silahkan kirim file nya ke email : tbm.lenterahati@gmail.com

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form