GUNUNG AMARAH

GUNUNG AMARAH
......................................
Pag I        
Ibuku selalu mewanti-wanti menyuruhku untuk sabar disegala situasi. Ketika lawan bicaraku meledak-ledak, maka aku harus menjadi air betapapun sulitnya. Seperti saat ini. Dalam suatu diskusi aku hanya diam ketika dihardik. Dihakimi ini itu walau tanganku gatal ingin menyumpal mulut-mulut itu dengan sobekan kertas. “Kau itu lebih muda, harusnya lebih menghormati pendapat kami yang lebih tua. Bagai mana ibumu mengajarimu dalam hidup bersosial?” dan bagaimana pula kau bawa-bawa ibuku dalam hal ini? Gumamku dalam hati tentunya. Aku diam memperhatikan muncratan air liur yang seperti gerimis. Harusnya sebelum kemari ku bawa payung untuk menghalau. “Baik, pak. Saya mengerti. Saya hanya berpendapat. Jika memang tidak disetujui, monggo. Tak perlu dipakai.” Balasku mencoba sopan.
“Aaah, dasar anak tengil.”
 Dengan senyum kuantar mereka melalui pintu. Kututup rapat, hingga beberapa saat kemudian kucabik-cabik kertas diatas meja, kutendang-tendang kursi, atau apapun di hadapanku. Setelah puas barulah sakit di ujung jari-jari kurasakan. Sambil meringis, akupun pulang.
            Ku lihat ibu sedang membenahi dagangannya. Kudekati ia dan memeluknya dari belakang. “Ada apa?”
“Aku kesal, bu. Rasanya benar-benar ingin marah.” Ibu mengelus-elus tangan ku.
“Tahanlah, nak. Memang ada kalanya akan terasa lelah dan sulit. Tapi jika sudah terbiasa akan lebih mudah.” Kemudian ibu menyarankanku. Jika aku harus menyediakan lahan besar untuk menampung segumpal demi segumpal amarah hingga menjadi gunung.
“Tapi, mana ada hal seperti itu?” Selaku. Semua orang, lanjutnya. Yang terlihat tenang di luar, yang terlihat penyabar, selalu memiliki hal itu di dalam hatinya. Lahan dalam hati yang begitu luas jika dipenuhi dengan amarah yang menggunung bukankah akan meledak juga suatu saat pikirku. Namun, ibu bilang dengan sabarlah, bisa membuat gunung itu tetap tenang. Ah, ibu ini. Memberitahu ku hal-hal konyol macam usiaku lima tahunan saja.
            Hari itu mentari menelan gulita. Tiap orang yang kujumpai nampak begitu tenang dan riang. Padahal diantara mereka baru ditimpa tangga (maksudnya musibah). Yang hartanya digondol kawanan rampok, yang anak perawannya kabur, yang anggota keluarganya meninggal, tapi tak nampak kemuraman di wajah mereka. Ku tenteng map menuju rumah pak RT. Di sana tiga orang yang ketika debat selalau muncrat-muncrat juga sudah menunggu.
“Permisi. Maaf, sudah lama?”
“Oh, iya. Tidak apa. Masuk-masuk.” Undang pak RT. Yang lainpun begitu. Senyum mereka memang nampak di buat-buat, tapi juga nampak alami. “Maaf, lho. Kemarin kami bentak-bentak seenaknya. Maklum udara panas.” Kata salah seorang yang duduk berjejer. “Iya, pak. Tidak apa-apa.” Aku heran dibuatnya. Ada apa dengan orang-orang ini. Diskusi hari itupun berakhir damai.
Ku rebahkan kepala di pangkuan ibu. “Kali ini apa?”
“Aku hanya merasa aneh, bu. Mana mungkin orang-orang itu dalam sekejap berubah. Padahal baru kemarin mereka meledak-ledak.”
“Bagaiman denganmu?”

Yuli Yanti
Julay - Relawan TBM Lentera Hati

Bersambung dulu ya
Next page II ........ !!

Karya :

Mohon maaf bila ada salah kata atau ucapan dalam penulisan kami ......

Untuk melihat kegiatan kegiatan TBM LENTERA HATI  lihat saja  DI SINI ya ..........
Untuk melihat puisi - puisi lainnya silahkan klik DI SINI
Untuk membaca cerita atau cerpen silahkan klik DI SINI
Untuk download Software,Game,atau Video tingggal klik DI SINI
Bagi yang suka baca berita seputar Indramayu silahkan klik DI SINI
Untuk yang suka membaca Novel DI SINI

Terima Kasih sudah mengunjngi Blog kami TBM LENTERA HATI
Kami tunggu Kritik dan Sarannya  !!!
**
Untuk teman teman yang mempunyai cerpen, puisi, novel, dan lainnya juka ingin di publish di sini silahkan kirim file nya ke email : tbm.lenterahati@gmail.com

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form