Cerpen; Satu Cinta Indonesia, oleh; Iin Indrayani



       Angin laut berdesir lembut menerpa pasir yang membisu. Kebisuan itu menyadarkan aku bahwa kini usiaku telah genap 26 tahun. Kututup mata, menghirup udara pantai kuta yang menakjubkan. Kelebatan angin yang tak terlihat mata bagai gulungan kain sutera yang mengelus wajahku. Wajah kuning langsat perempuan Jawa yang mencari bongkahan emas di dasar bumi. Aku sengaja berkunjung ke daerah yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Daerah nomor satu di Indonesia yang merupakan titik terindah wisatawan di seluruh dunia, Bali. Sudah lama aku ingin bertamu ke daerah ini. Naluri hati yang rindu akan keharmonisan sebuah keluarga membuatku memilih tempat ini untuk mencari bongkahan emas yang tersembunyi. Entahlah, hatiku seakan tertarik dengan kota dewata yang indah ini. Dan aku berharap, diusiaku yang ke-26 ini, aku benar benar akan menemukan bongkahan bongkahan emas itu secepatnya.

         Musim angin tahun ini disambut manja oleh masyarakat. Kulihat orang tua, muda dan anak kecil memanjakkan hati mereka dengan bermain layang-layang. Sesuatu yang tak pernah aku lihat di Jawa. Yang mana bermain layang-layang umumnya dilakukan oleh anak kecil saja. Indahnya pemandangan pantai kuta benar-benar memanjakan kedua mataku. Tak kusadari, aku sering menutup mataku dalam waktu yang lama. Dan itu, yang selalu aku lakukan apabila aku berada di sebuah tempat yang nyaman. Nyaman di mata dan nyaman di hati.

      Dua orang turis tiba tiba menghampiriku, hingga aku tersentak dari lamunan cintaku akan kebesaran Rabb-ku, Allah Swt. Mereka tersenyum ramah kearahku dan meminta tolong agar aku memotret mereka dengan kamera yang mereka bawa.

      “Can you take our picture, please?” Pinta salah seorang dengan suara yang begitu lembut. Aku terhipnotis oleh keramah lembutan turis itu terhadapku, di mana notabene mereka adalah non muslim. Luar biasa, jalan untuk mencari bongkahan emas yang tersembunyi kini mulai terbuka.

      Aku membalas senyum mereka tak kalah manis. “Yes. Of course “. Dalam beberapa menit saja, lima jepretan sudah berhasil kudapatkan. Kami me-review  foto foto barusan bersama sama. Bahkan tak canggung canggung, kamipun sempat tertawa. Oh dunia, indahnya jika hati kita terbuka untuk "Satu Cinta".

“Thank you very much. You good girl, happy to see you. What is your name ?”
Tanya wanita agak gemuk berambut pendek.

            “Your welcome. My name is Iin..“ Jawabku singkat. Sudah kuduga, mereka pasti sulit untuk mengucapkan namaku yang terkesan asing di lidah mereka.

“Inn? Or , Inin?”  tanya wanita berambut pirang panjang.
Aku tersenyum kecil. “You can call me, Iin. My full name is Iin Indrayani. I am from west Java “
“Oh, I see, so difficult to say it. But really, glad to see you here Iin “ balas wanita berambut panjang tanpa mengurangi keramahannya padaku.

    Sekali lagi aku hanya tersenyum ke arah mereka. Kami sempat berbincang-bincang sebentar sambil menikmati suasana pantai yang meneduhkan. Mereka datang dari Adelaide, Australia. Sengaja berlibur untuk mengisi libur panjang mereka, sama sepertiku. Wanita berambut pirang panjang itu bernama Rossie. Sedang yang gemuk dan berambut pendek bernama Emma. Sesuai dugaanku, mereka adalah saudara kandung. Karena, meski tinggi badan mereka tak sama, namun wajah mereka sangat mirip sekali.

           Tak lama kemudian kami berpisah. Mereka melanjutkan kembali perjalanan mereka sedang akupun melanjutkan kembali perjalananku. Desiran angin pantai kuta kembali menerpa wajahku. Menggelayut manja hingga ke saraf otakku. Kemudian turun ke telinga membisikkan suara alam agar aku bisa lebih lama di tempat ini. Oh indahnya alam-Mu ini Tuhan. 

‘Fasabbih bismi robbikal’adhiim... ’

  Aku melangkahkan kakiku selama beberapa puluh menit hingga keluar dari area pantai itu. Sepoi angin mengantar diriku, menerobos lalu lalang wisatawan hingga masuk ke tempat cendera mata Pasar Seni Kuta Bali hanya dengan berjalan kaki. Cukup jauh memang, sekitar 100 km dari pantai Kuta. Tapi aku suka, karna dengan berjalan kaki aku merasakan tubuh dan hatiku benar benar bersatu dengan alam. Dan kedua mataku kembali dimanjakan oleh pernak pernik khas pulau dewata yang bergelantungan dan terhampar di kios kios kecil yang saling berhadap hadapan. Pasar Seni ini mengingatkan aku pada obyek wisata yang sering aku kunjungi di Jawa Barat, Gunung Tangkuban Perahu. Setiap perjalanan ke sebuah obyek wisata, tempat penjualan cindera mata adalah target kedua dari daftar tujuan utamaku. Entah, aku merasa damai bila berjalan di antara ratusan kios dengan ribuan pernak-pernik yang memanjakan hatiku. Aku sangat suka dengan kerajinan tangan yang dimiliki oleh setiap wilayah yang berbeda-beda.

Langkahku terhenti di sebuah kios yang terlihat lebih besar dari kios kios lainnya. Aku terpancing untuk masuk ke kios itu, karna menangkap suatu keanehan di dalamnya. Aku melihat cukup banyak wanita muslim yang keluar dari dalam kios tersebut dengan wajah yang begitu cerah. Aku masuk kedalam dan kedatanganku di sambut ramah oleh penjual kios tersebut. Seorang perempuan yang mungkin seumuran denganku atau sekitar 28 tahunan. 

        “Selamat sore Dik, silahkan di lihat lihat barang barang di kios kami“ sapa perempuan itu dengan sopan. 

       Aku tersenyum lepas kearahnya.“Maaf mbok , apa di dalam kios ini disediakan mushola? Saya tidak sengaja melihat beberapa orang muslim keluar masuk dari kios ini“.

  “Benar Dik, kios kami menyediakan ruangan khusus sebagai mushola untuk para wisatawan atau pembeli yang beragama muslim, walau keluarga kami penganut agama hindu“.

       ‘Subhanallaah..’, dadaku bergetar mendengar jawaban dari beliau. Hatiku berdesir melihat kearifan dan rasa tenggang rasa yang begitu hidup dihatinya. Perbedaan agama tidak membuat mereka merasa sungkan untuk bersikap baik kepada umat lainnya.
“Dan kotak amal di depan itu apakah Mbok sendiri yang menyediakannya?“ tanyaku agak ragu.

           “Benar Dik. Dan hasil kotak amal itu selalu kami sumbangkan untuk orang orang yang tidak mampu. Bahkan untuk orang yang menganut keyakinan diluar keyakinan kami sendiri. Dan hasil dari penjualan kios ini selalu kami sisihkan 10% untuk mereka yang membutuhkan setiap bulannya“.

       ‘Subhanallaah..’, dadaku kembali dibuat bergetar oleh penjelasan beliau. Oh Tuhan, untuk kedua kalinya hatiku berucap bahwa hidup ini memang indah bila kita berdiri di atas SATU CINTA untuk sesama, tanpa memandang dari keyakinan yang di anutnya.

          “Mulia sekali hati keluarga Mbok, saya merasa malu, karena diusia sedewasa ini saya belum mampu melakukan hal terpuji seperti itu“ balasku dengan rasa kagum kepada perempuan hindu berwajah manis dan berambut panjang itu. 

        Hal yang juga membuatku takjub adalah senyum di bibirnya yang merekah. Bahkan sejak satu menit pertama aku masuk ke kios itu hingga kami berbincang bincang cukup lama, ia tak sekalipun menyembunyikan senyumannya dariku. 

     Tak lama kemudian, aku melihat ke arah luar di mana seorang biarawati sedang menolong seorang wisatawan China yang terjatuh di depannya. Biarawati itu menuntun orang tersebut untuk duduk di sebuah bangku yang disediakan oleh kios di depan kami. Beliau dengan tulus dan ikhlas meminta peralatan p3k kepada si pemilik kios. Aku dan Mbok memperhatikan sikapnya sedari tadi. Sungguh, kami terbius oleh ketulus ikhlasan biarawati tersebut, yang membantu membersihkan luka luka si wisatawan China, sampai membalut lukanya dengan rapih sekali. Aku dan Mbok saling menatap, lalu tersenyum satu sama lain. Kami bergegas menghampiri mereka untuk menjalin silaturahmi sebagai wujud kecintaan kami terhadap ke-Esa-an Tuhan Yang Paling Hakiki.

“Selamat sore Suster, apa ada yang bisa kami bantu?” sapaku kepada beliau.

Wisatawan China seorang wanita itupun tersenyum lembut kearah kami.

        “Terima kasih Dik, Ibu ini terjatuh dan lututnya berdarah. Saya merasa iba jadi saya bantu untuk mengobati“ jawab Suster itu.

            “Suster sangat baik sekali. Hati anda sungguh sangat mulia. Hari ini, aku benar benar telah menemukan apa yang aku cari. Dan itu lewat kalian. Aku bangga karena kalian benar benar menjunjung tinggi tali silaturahmi dan tidak membatasi semua itu hanya karna perbedaan keyakinan yang kita anut“.

         Suster itu tersenyum kearahku . “Dik, kita hidup di dunia ini sebagai hamba Tuhan Yang Maha Kuasa. Kewajiban kita adalah berbuat baik kepada semua orang tanpa pandang bulu. Seperti apapun agama kita, ada satu hal yang kedudukannya lebih tinggi dari itu, yaitu menjunjung tinggi ke-Esa-an Tuhan yang kita sembah“.

      “Anda benar Suster, Indonesia kaya akan keberagamaan budaya, suku, dan agama. Kita menjadi satu ikatan besar dalam satu ibu, yaitu Ibu Pertiwi. Dan satu bapak, yaitu Alam Semesta Raya. Yang mana kita semua adalah anak-anaknya yang membutuhkan perlindungan dari orangtua kita yang sama. Dan itu dapat di wujudkan dari sikap keseharian kita terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar“. tambah perempuan hindu pemilik kios yang aku panggil Mbok itu.

     Aku tertegun mendengar penjelasan demi penjelasan yang berbalut ilmu tentang sebagian arti dari makna kemerdekaan suatu bangsa yang sesungguhnya. Aku benar benar terharu dengan budi mereka yang begitu lembut terhadap sesama walau berbeda kayakinan. 

“Sepertinya, Mbok sangat mengenal Suster ini?“ sela-ku sebelum kami berpisah.
“Beliau seorang biarawati dari Gereja Yesus Kristus, Denpasar. Beliau sering lewat di sekitar sini“. jawabnya yang langsung disambut oleh anggukan dan senyuman dari Suster tersebut.
“Oh, pantas saja. Senang sekali bisa bertemu dan mengenal kalian. Sore ini adalah senja luar biasa yang aku rasakan sepanjang hidupku. Aku banyak belajar tentang nilai nilai kehidupan yang jarang aku temui di daerahku“.

     Ketiga perempuan yang berbeda keyakinan itu mengangguk bersamaan didepanku.
Aku berpamitan kepada mereka karena waktu maghrib segera datang. Aku harus kembali ke tampat kawan lamaku di daerah Badung. Diperjalanan tak henti hentinya aku berdzikir memuji Kebesaran Tuhan Yang Maha Besar, yang telah mempertemukan aku dengan dua orang malaikat-Nya yang begitu lembut dan menyejukkan hatiku. 

Hidup memang indah bila kita terfokus hanya untuk "Satu Cinta". Dan satu cinta itu berdasarkan Cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal yang membuaku amat bahagia, sore ini aku benar benar menemukan bongkahan bongkahan emas yang terpendam dari dasar bumi. Yaitu bongkahan-bongkahan kasih sayang dan nilai nilai kemanusiaan yang terpancar dari sikap kedua wanita berbeda agama itu, dalam menghargai dan menyayangi saudara mereka tanpa memandang siapa dia, suku mana, ras apa, dan apa agamanya.

 Senyumku semakin mengembang seiring dengan kedua mataku yang menangkap panorama sunset pantai kuta dari kejauhan. Oh Indonesia, betapa kaya negeriku ini. Kaya akan kasih dan cinta, kaya akan agama, kaya akan budaya budaya, kaya akan ras dan suku bangsa. Dan aku sangat bangga menjadi anak Indonesia, AKU INDONESIA.

***

Mohon maaf bila ada salah kata atau ucapan dalam penulisan kami ......

Untuk melihat kegiatan kegiatan TBM LENTERA HATI  lihat saja  DI SINI ya ..........
Untuk melihat puisi - puisi lainnya silahkan klik DI SINI
Untuk membaca cerita atau cerpen silahkan klik DI SINI
Untuk download Software,Game,atau Video tingggal klik DI SINI
Bagi yang suka baca berita seputar Indramayu silahkan klik DI SINI
Untuk yang suka membaca Novel DI SINI

Terima Kasih sudah mengunjngi Blog kami TBM LENTERA HATI
Kami tunggu Kritik dan Sarannya  !!!
**
Untuk teman teman yang mempunyai cerpen, puisi, novel, dan lainnya juka ingin di publish di sini silahkan kirim file nya ke email : tbm.lenterahati@gmail.com


Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form