Cerpen; Antara Duka dan Cinta Akan Kearifan Tradisi

ANTARA DUKA, DAN CINTA AKAN KEARIFAN TRADISI
Oleh: Iin Indrayani
...
     ”Nak, tak usahlah kau ikut Bapak melaut. Kau sekolah saja, Bapak masih sanggup mengais rezeki untuk memenuhi kebutuhan kita.“ Gumam beliau sembari melepas tambang perahu yang terikat pada sebuah kayu.

     “Pak, Samsul ini sudah besar. Samsul bukan anak kecil Bapak lagi. Izinkan Samsul ikut ya Pak. Ajari Samsul akan susahnya mengais rezeki agar kelak Samsul tidak menghambur-hamburkan uang bila kita diberi kesempatan menjadi orang yang lebih beruntung dari sekarang.“ bujukku, memegang tangan beliau yang mulai keriput dan kasar.

     Namun seperti yang sudah-sudah, Bapak tidak mengizinkan aku untuk melaut bersamanya. Terkadang aku merasa rendah, melaut saja tidak pernah bagaimana mungkin aku bisa menjadi bagian dari komunitas yang menggeluti budaya masyarakat pesisir ini? Sejujurnya itu adalah sebagian dari cita-citaku selama ini. Bahkan bila aku diberi kesempatan, aku ingin sekali menjadi menteri kelautan dan perikanan agar bisa menjaga dan mengawasi kekayaan alam serta melindungi budaya nasional yang berabad-abad telah berkembang di negaraku ini. Namun aku kira itu hanyalah mimpi di siang bolong. Sekolah saja aku di Aliyah. Mana mungkin aku bisa seperti Menteri Susi yang sering muncul di berbagai siaran televisi itu.

      Aku mengalah tak tega ke arah beliau. Kulihat beliau mulai menyalakan mesin dan menahkodai perahu usang milik kami sendirian. Entah mengapa sore itu aku merasa sedih. Airmataku menetes. Aku tak lagi menjadi Samsul yang tegar. Melihat Bapakku pergi hatiku seakan kehilangan sebagian jiwa yang selama ini membuatku kokoh dalam menjalani kehidupan.

     “Ya Allah, lindungilah Bapakku, mudahkanlah jihadnya dalam mengais rezeki halal-Mu Yaa Robbul ‘Izzatii.“

     Do’a itu membawaku pergi dari sana. Meninggalkan tanah yang masih menaburkan bekas telapak kaki satu-satunya orangtua yang aku miliki.
***
Malam mulai merayap. Selesai sholat isya aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku memutuskan untuk duduk lebih lama di dalam mushola. Kulepas tasbih kaukah kecil yang melingkar di pergelangan tanganku. Kupetik lembut dan kumanjakan dengan irama zikir dan sholawat untuk keselamatan Bapakku di luar sana. Airmataku kembali menetes. Tak dapat kubayangkan betapa susahnya beliau bertahan seorang diri di tengah luasnya samudera. Menjadi nahkoda dari sebuah perahu yang cat-catnya telah luntur serta kayu yang keropos termakan waktu.

       Aku masih ingat kapan terakhir kali Bapak mengecat perahu itu. Enam tahun yang lalu, di saat Ibu masih ada. Enam tahun, seharusnya kami mampu untuk merombak perahu itu menjadi lebih layak untuk dipakai. Namun kenyataannya kami tidak sanggup. Semenjak Ibu tiada, keuangan kami begitu merosot. Aku masih ingat ucapan seorang Guru yang berkata bahwa tangan laki laki tidak akan mampu menyimpan banyaknya uang seperti tangan seorang perempuan. Oh Ibu… wanita yang dulu menjadi lentera hati kami kini hanya tinggal nama dan kenangan.

Waktu menunjukkan pukul 22.00, aku sama sekali tak sadar bahwa lantunan zikirku sudah masuk jam kedua. Keadaan hatiku yang sangat mengkhawatirkan Bapak membuatku nyaman untuk menetap lebih lama di mushola.
“Tak pulang kamu, Sul? kok tumben masih di sini. Ada masalah?“ sapa Ustadz Djamal padaku.
Aku langsung berdiri dan mencium tangan beliau. “Maaf Pak Ustadz, apa pintu mushola mau di kunci? Jika iya saya pamit pulang sekarang.“
“Bukan begitu, Sul. Tapi saya melihat kegundahan di wajahmu. Ceritalah, mungkin saya bisa membantu.“
“Saya memikirkan keadaan Bapak saya yang sedang mengais rezeki di luar sana. Apalagi cuaca seperti ini. Anginnya kencang sekali, saya sangat khawatir Pak Ustadz. Dan entah mengapa saya gelisah sekali malam ini. Padahal setiap malam pun beliau pergi melaut sendirian.“ tuturku kepada Ustadz Djamal.

       Kulihat beliau ikut merasakan kekhawatiran yang menguasai diriku. “Pulanglah Sul. Dan sholat hajat di rumahmu. Rumahmu adalah amanah dari orangtuamu yang wajib kau jaga. Memohonlah kepada Gusti Allah Swt, agar Bapakmu baik-baik saja. Satu hal yang dapat menangkis bala  yang hendak menembus atmosfir bumi hanyalah Do’a. Kau anak yang berbakti, Gusti Allah pasti sangat menyayangimu Sul.“
Aku menatap wajah Ustadz Djamal dengan lekat. Ada secercah embun yang seakan menetes di hatiku. “Baik Pak ustadz, wassalamu’alaikum warahmatullaah.“
“Wa’alaikumsalaam warahmatullaah wabarakaatuh..” jawaban salam dari beliau menuntunku untuk pulang.
Tebalnya mendung mulai membuncahkan kekuatannya. Kilatan halilintar bagai akar-akar raksasa yang siap mengoyak bumi. Hujan pun turun saat kedua kakiku sudah menginjak teras rumah kami.

     “Alhamdulillaah.. Ya Allah“

      Aku merasa Gusti Allah memang sangat menyayangiku. DIA tidak mau air hujan mengguyur tubuhku sedikit pun. Tapi bagaimana dengan Bapak?

       Petir menggelegar. Aku langsung membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. Nasihat Ustadz Djamal yang menyuruhku untuk sholat hajat segera aku kerjakan. Kupetik kembali tasbih kecilku setelah selesai shalat hajat enam rakaat. Lantunan zikir dan shalawat seakan bertarung dengan ganasnya deru ombak dan badai di lautan. Aku terjaga dalam posisi itu hingga pukul 02.00 dini hari. Hatiku belum tenang bahkan aku semakin mengkhawatirkan keadaan Bapak di luar sana.

     “Ya Allah,  jangan biarkan sesuatu hal terjadi pada Bapakku. Aku tidak memiliki siapa pun lagi selain beliau. Lindungi beliau Ya Allah..“

     Aku kembali bersujud dengan linangan airmata. Petir di luar masih menampakkan amarahnya. Hujan pun semakin besar dengan desiran angin yang begitu kuat. Setelah sujud aku bangkit dan duduk di kursi depan. Aku berharap Bapakku pulang secepatnya. Biarlah tak mendapatkan tangkapan ikan sedikit pun. Aku ikhlas bila besok hanya makan nasi dengan garam saja.

     Cukup lama aku duduk di sana dan rasa kantuk-pun mulai meniup kelopak mataku.
“Assalamu’alaikum Sul... buka pintu Sul ini Bapak.“

     Aku tersentak dan langsung bergegas membuka pintu. “Alhamdulillaah Bapak pulang... Samsul sangat khawatir dengan Bapak.“

     Kulihat wajah Bapak berseri-seri. Entah apa yang membuat beliau sebahagia itu. Tak lama kemudian beliau meletakkan dua bungkus nasi rendang ke hadapanku. Aku bingung dari mana beliau mendapatkan makanan itu malam-malam begini?

     “Pak....?“

     “Sudah, jangan bertanya. Makanlah, Bapak juga sangat lapar. Bapak belum makan sejak tadi sore.“

     “Loh kok kening Bapak memar begitu, kenapa Pak?” tanyaku khawatir, namun Bapak tak merespon pertanyaanku.

      Beliau begitu menikmati sajian yang ada di depannya. Kelezatan nasi rendang malam itu seakan mengalahkan kelezatan makanan di restoran termahal sekali pun. Aku sendiri masih bingung, bukan hanya memikirkan tentang asal muasal nasi tersebut namun juga memikirkan tentang keadaan tubuh Bapak yang  memar di kening serta kedua lengannya. Pakaian beliau pun sedikit robek di bagian dada, dan rambut Bapak terlihat acak-acakan. hanya senyuman yang membuat wajah beliau terlihat tenang.

     “Kau tidak makan, Sul? Makanlah lalu tidur. Nanti Bapak mau pergi lagi setelah ini.“

     “Pergi kemana lagi, Pak? Di luar masih hujan. Jangan membuat Samsul khawatir. Samsul sudah lega melihat Bapak pulang. Lagipula ini sudah hampir pagi.“ celotehku dengan kesal.

     Bapak malah tersenyum ke arahku. Menepuk pundakku dengan bangga. “Kau akan menjadi orang sukses Sul, semuanya hanya menunggu waktu. Pesan bapak padamu tetaplah rendah hati jika kau menjadi orang berada suatu saat nanti. Dan wakafkanlah gubug kita ini menjadi surga untuk para anak-anak dan kucing-kucing yang terlantar di luar sana. Jangan sungkan untuk melakukan kebaikan sekecil apa pun ya, Sul. Karena kita tidak pernah tahu hal apa yang bisa membawa kita ke surga-Nya kelak. Bapak sudah lelah Sul, Bapak sudah tua. Bapak rindu dengan Ibumu. Bapak ingin bertemu dengannya.“

     Aku tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Bapak. Mulutku menganga. Lidahku susah untuk digerakkan. Kulihat Bapak meninggalkanku dan keluar menerobos pintu.

     “Astaghfirullaahal’adziim... Bapaaak???!!“ Aku langsung terbangun dan ternyata itu mimpi. Namun tak sekedar mimpi. Aku benar-benar merasakan semua itu seperti hal yang nyata.

     Azan shubuh berkumandang. Hatiku cukup lega menyadari petir dan hujan sudah mereda sedari tadi. Tak menunggu waktu lama, aku langsung menuju mushola untuk melaksanakan shalat shubuh. Selesai shalat aku kembali berzikir. Hanya ada aku dan Ustadz Djamal di dalam mushola kecil itu. Sebenarnya aku sudah tidak sabar untuk melihat Bapak pulang ke rumah dalam keadaan baik-baik saja. Namun aku pun harus berangkat ke sekolah, apalagi ada tugas yang belum sempat aku kerjakan semalam.

     Pukul 14.00 aku pulang dari sekolahku. Pintu rumah masih terkunci, aku melirik sejauh mataku untuk mencari keberadaan Bapak. Mana mungkin Bapak belum pulang hingga siang begini karena biasanya pukul 08.00 pagi beliau sudah kembali dari melaut. Aku berlari ke dekat sungai. Kedua mataku tak menangkap perahu milik Bapak.

     “Sul, kamu sedang apa di sini? Masih pakai seragam sekolah lagi.“ sapa Mang Ismail, tetangga terdekat kami.

     Dengan wajah khawatir aku menjawab pertanyaan beliau. “Mang, apa Mamang melihat Bapak kembali dari melaut pagi tadi?”

     “Tidak Sul. Memang kemarin sore Bapakmu melaut ya Sul? Bukannya cuaca sedang buruk sekali Sul?“

     Aku tak lagi menjawab pertanyaan beliau. Kedua kakiku langsung meninggalkan area sungai dan kembali ke rumah. Belum lima menit, suara pintu terketuk dari luar. Mang Subro datang dengan wajah tegang dan kedua mata berkaca-kaca. Belum sempat aku bertanya akan alasan kedatangan beliau, beliau langsung memelukku dengan iba.

     “Bapakmu Sul.. Bapakmu...“

     Aku bingung sekaligus panik. “Ada apa Mang Subro, Bapak kenapa Mang? Apa Mamang bertemu Bapak di laut semalam?”

     “Sabar ya Sul.. yang tabaaaah. Kami menemukan bongkahan perahu milik Bapakmu di tengah lautan pagi tadi. Kami yakin itu milik Bapakmu, Sul. Tapi kami tidak menemukan keberadaannya. Kemungkinan, Bapakmu tenggelam Sul.“

     Degg! Sebuah benda terasa menghantam dadaku. Aku menggeleng tidak percaya akan penuturan beliau. Namun tak kupungkiri, ada sebuah keyakinan yang membuatku yakin bahwa Mang Subro tidak berbohong.

     “Bapaaaaak..... ??!“ Aku terduduk di atas lantai rumahku. Airmataku jatuh menyapa debu yang bertaburan di sana. Hal yang paling aku takutkan sejak kemarin sore akhirnya terjadi. Bapakku telah tiada. Tenggelam bersama ganasnya petir dan halilintar semalam. Serta gugur dalam berjihad dalam mencari rezeki-Nya. Apakah mungkin beliau masih hidup? Mungkin saja ada orang yang menolong beliau?

     Ah, sangat kecil kemungkinan beliau bisa selamat dari cuaca seburuk itu. Apalagi mereka menemukan kondisi perahu kami yang sudah hancur. Tidak mungkin juga ada pelaut yang memaksa melaut dalam cuaca seganas itu. Kecuali hanya Bapakku yang memikirkan untuk biaya makan dan sekolahku besok pagi. Berat aku terima semua ini, namun itulah kenyataannya. Bapakku sudah tiada.

     Satu minggu pencarian jasad Bapak tidak juga di ketemukan. Hatiku sakit sekali, lebih sakit dari kematian Ibuku sebelumnya. Di saat aku rindu dengan Ibu, masih ada makam beliau yang selalu aku ziarahi. Namun jika aku rindu pada Bapak, kemana harus kubawa diri ini untuk bertamu ke peristirahatan terakhir beliau? Jangankan makam, jasadnya saja tidak ada.

     Sejak saat itu aku memutuskan untuk pergi dari desaku. Desa yang memiliki banyak kenangan tentang masa kecil bersama kedua orangtuaku. Kematian Bapak yang sangat tragis membuat aku benci dengan segala hal yang berkaitan dengan budaya pesisir pantai. Bahkan cita-citaku untuk menjadi bagian dari komunitas pesisir pun seakan lenyap termakan dendam. Untuk apa aku ikuti acara Nadran  setiap tahunnya, apabila masih ada korban yang tenggelam setragis itu. Bahkan bukan orang lain, tapi Bapakku. Kehancuran hatiku membuatku memilih jalan yang cukup buntu. Aku bagai gelandangan yang berkeliaran di pinggiran jalan sembari mencari pekerjaan serabutan selama hampir satu tahun sejak tragedi itu. Dunia malam yang ditakuti banyak orang bagai sahabat sejati bagiku. Aku tidak takut siapa pun. Takdir yang kujalani bagai omong kosong yang sulit aku percaya.
**

     Dan hari ini, adalah hari di mana 5 tahun lalu aku memohon-mohon pada almarhum Bapakku untuk ikut melaut bersamanya. Ya, hari ini. Hari ini aku kembali sebagai Samsul si anak nelayan yang miskin itu. Namun tidak dengan gelarku. Usiaku kini genap 24 tahun. Aku sudah menjadi seorang guru di sebuah sekolah menengah pertama di Kota Kembang. Ada gelar S.pd, di belakang namaku. Seperti kalimat terakhir yang Bapakku ucapkan dalam mimpiku. Bahwa aku akan menjadi orang yang sukses. Benar, satu tahun setelah kematian Bapak, aku diangkat anak oleh pasangan suami istri yang cukup terpandang. Tak lain dan tak bukan, beliau adalah kepala sekolah di Aliyah di mana dulu aku belajar. Ternyata beliau sudah mencari-cariku cukup lama. Bahkan karena bujukan beliau, aku pun kembali melanjutkan pendidikan Aliyahku yang tertinggal satu tahun lagi.

     Prestasi dan Kecerdasan yang kukantongi membuat mereka iba dan menyekolahkanku ke Universitas yang cukup terkemuka di Kota Kembang. Hingga aku berhasil seperti sekarang. Dan hari ini, dengan segala keridhoan di hatiku. Aku kembali sebagai Samsul yang mencintai budaya pesisir seperti dulu. Samsul yang bercita-cita untuk menjadi Menteri. Hari ini ia telah kembali menerima kenyataan bahwa tragedi yang menimpa Bapaknya adalah konsekuensi dari sebuah pekerjaan. Dan semua itu sudah atas kehendak-Nya serta kuasa-Nya.

          Dengan rasa yakin aku pun mulai mewujudkan bagian dari cita-citaku untuk bergelut di komunitas pesisir pantai. Melanjutkan perjuangan seorang anak yang begitu mencintai adat istiadat tanah kelahirannya. Mengikat karateristik masyarakat perkotaan dan pedesaaan agar bersatu dalam kepluralistikan. Dan mengokohkan rasa cinta akan tradisi di mana itu adalah wujud dari rasa cinta semua golongan masyarakat terhadap Ibu Pertiwi serta melestarikan warisan dari nenek moyang kami secara kolektif.

     “Kami bangga padamu, Samsul.“

     Ucapan-ucapan itu silih berganti keluar dari mulut orang-orang yang menyaksikan perjuangan hidupku bersama kedua orangtuaku di gubuk reot yang terletak di pinggiran sungai. Gubuk yang sudah aku ubah menjadi panti asuhan serta tempat penanggulangan kucing-kucing jalanan seperti apa yang Bapak petuahkan dalam mimpi malam itu padaku. Aku telah kembali hari ini. Menjadi Samsul yang sangat perduli dengan lingkungannya dulu. Menjadi Samsul yang cinta akan kearifan sebuah tradisi yang berhasil mengalahkan dahsyatnya airmata duka atas kematian ayahnya yang tenggelam di lautan lima tahun yang lalu.

TAMAT.


Mohon maaf bila ada salah kata atau ucapan dalam penulisan kami ......

Untuk melihat kegiatan kegiatan TBM LENTERA HATI  lihat saja  DI SINI ya ..........
Untuk melihat puisi - puisi lainnya silahkan klik DI SINI
Untuk membaca cerita atau cerpen silahkan klik DI SINI
Untuk download Software,Game,atau Video tingggal klik DI SINI
Bagi yang suka baca berita seputar Indramayu silahkan klik DI SINI
Untuk yang suka membaca Novel DI SINI

Terima Kasih sudah mengunjngi Blog kami TBM LENTERA HATI
Kami tunggu Kritik dan Sarannya  !!!
**
Untuk teman teman yang mempunyai cerpen, puisi, novel, dan lainnya juka ingin di publish di sini silahkan kirim file nya ke email : tbm.lenterahati@gmail.com

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form