CERITA DI SUDUT KOTA, Oleh: Iin Indriyani



Dibacakan di Radio Republik Indonesia pada 8 Desember 2018

CERITA DI SUDUT KOTA
Oleh: Iin Indriyani


Aku tinggal di sudut kota Changhua, Taiwan Tengah. Daerah-ku adalah pedesaan. Sangat jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Tidak ada minimarket apalagi pasar swalayan. Semacam Alfamart atau Indomaret saja harus ditempuh sekitar setengah jam menggunakan sepeda listrik, bagi yang memilikinya. Jika tidak, aku terpaksa naik sepeda biasa yang tentu memakan waktu lebih lama, atau membayar jasa taksi rumahan dengan biaya 300NT. Senilai seratus ribu lebih untuk pulang-pergi ke minimarket atau pasar. Sedangkan jika ke stasiun, aku harus membayar taksi 500NT, setara dua ratus ribu lebih untuk satu kali jalan. Jika pulang-pergi, sudah bisa dibayangkan, aku harus merogoh kocek sebesar empat ratus ribuan untuk ongkos taksi ke stasiun saja. Inilah kesulitanku dan teman-temanku di daerah ini.

Hampir semua masyarakat di daerah ini bermata-pencaharian sebagai petani. Hektaran persawahan dan perkebunan sayuran sudah tak asing bagiku. Pemandangan hijau ini yang memanjakan bola mataku saat berolahraga di pagi hari. Pabrik industri tempatku bekerja berada di tengah persawahan. Umumnya, industri yang berada di daerah terpencil seperti ini memperkerjakan tidak lebih dari sepuluh orang TKL yang berasal dari Indonesia dan Vietnam. Bahasa yang kami gunakan adalah mandarin, bahasa resmi di Taiwan. Karena TKI Vietnam tidak ada yang menguasai bahasa Inggris. Berbeda dengan orang Philiphina, bahasa resmi di negara mereka adalah bahasa Inggris sendiri.

Industri di sudut kota ini kebanyakan adalah pabrik kertas, besi, sabun, dan sayuran. Bahkan Tenaga Kerja Wanita-nya pun tak sedikit yang ikut turun untuk bekerja di sawah dan ladang. Hal itu memang aneh jika dilihat oleh orang-orang yang tinggal di perkotaan. Karena bekerja di sawah atau perkebunan adalah pelanggaran dan tidak sesuai Perjanjian Kerja (PK) bagi pekerja sektor informal di Taiwan. Job resmi mereka hanya merawat pasien yang mereka jaga. Tidak boleh lebih. Jika dituntut, majikan dan Agency pasti akan bermasalah dengan pihak kepolisian. Akan tetapi, mereka hanya pendatang yang membawa segenap jiwa dan harapan akan kesuksesan. Rasa khawatir dan takut membuat mereka hanya bisa pasrah. Tidak melawan, kecuali hanya sebagian pekerja sektor informal yang memiliki keberanian lebih. Seperti temanku, Wina misalnya.

Wina bekerja merawat lansia yang masih sehat, bisa berjalan normal, dan hanya berdua saja di rumah. Kesenggangan waktu menuntut Wina untuk bekerja di ladang, bahkan terkadang, ia pun diminta untuk bantu-bantu di sawah milik majikannya. Awalnya Wina merasa keberatan. Tentu saja, karena itu bukan pekerjaan wajibnya. Terik matahari yang menyengat, apalagi jika musim dingin telah datang membuat ia ingin sekali melambaikan tangan kepada Tuhan. Ingin sekali ia berteriak mundur kepada Agency agar dipindahkan ke majikan lain. Tetapi setiap kali ia melakukan itu, ia selalu teringat dengan majikan pertama sebelum ia pindah kesini. Ia merawat wanita paruh baya setengah lumpuh yang berbadan gemuk. Belum lagi suami dari pasiennya itu sangat kurang ajar terhadap Wina. Tak sekali dua kali, Wina dipaksa untuk memijat bagian intim lelaki biadab yang tak lain adalah majikannya sendiri. Wina selalu menolak, Wina selalu melawan. Akan tetapi, Wina yang malang harus menunggu berbulan-bulan untuk pindah dari rumah mengerikan itu. Perpindahan job bukanlah hal mudah di Taiwan. Syarat utama adalah tanda tangan dari majikan yang pertama kali membawanya ke negara ini. Jika tidak, mereka harus mengumpulkan bukti sekuat mungkin atas tindak pelecehan seksual atau kekerasan majikan untuk kemudian dilaporkan kepada layanan pengaduan atau kepolisian langsung.

Tetapi Wina tidak memiliki bukti apa pun. Ia hanya bisa memohon untuk pindah kepada Agency, menangis sembari bersujud dan meminta perlindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Agar ia diselamatkan dari manusia biadab seperti majikannya itu. Dan pada Desember 2016 lalu, Wina berhasil keluar dari neraka di negara ini. Wina keluar dari majikannya dengan penuh kemenangan, tuntutan perpindahan yang ia tunggu selama berbulan-bulan telah dikabulkan. Satu hari setelahnya, Wina langsung pindah di majikan baru di salah satu daerah terpencil di Changhua ini. Ya, di sini. Walau ia sering bertarung dengan panas matahari dan ganasnya musim dingin saat bekerja di perkebunan, tetapi ia tetap kuat dengan modal ikhlas dan kesabaran. Wajah anggota keluarga yang silih berganti hadir di ingatannya adalah butir-butir obat mujarab setiap kali ia nyaris melambaikan tangan.

“Hebat kamu, Win. Tiga orang pekerja sebelum kamu, tidak ada yang betah di sini. Nenek yang kamu rawat itu cerewet sekali. Selain itu, kamu juga harus bekerja di ladang setiap hari. Tapi kamu bisa.” Ujarku, teman pertama yang Wina temukan di sini.

Wina tersenyum tipis. “Tuhan yang menguatkan saya. Pengalaman saya di majikan dulu pun sangat jauh lebih buruk dari di sini. Dan sejak saat itu, Tuhan sudah menguatkan diri saya untuk tidak mudah menyerah di keesokan hari.”

“Tapi kamu harus melawan Mereka, Win. Bekerja di ladang itu bukan pekerjaan kamu.” Aku terus membujuk Wina dengan yakin.

“Saya tahu, Mas. Masalah itu sudah saya laporkan ke Depnaker. Alhamdulillaah, pihak Depnaker sudah datang dan  menegur majikan saya agar tidak memperkerjakan saya lagi di sawah atau ladang. Sekarang, saya hanya mengurus kebun sayuran depan untuk makan saya sehari-hari. Sambil belajar juga ‘kan, biar saya punya ilmu bercocok-tanam jika pulang ke Indonesia nanti.”

Aku mengangguk kecil. “Iya sih. Beruntungnya kamu punya keberanian. Yang dulu-dulu nggak ada yang bisa melapor ke Depnaker seperti kamu.”

“Kalau kita berani, berarti kita memiliki kwalitas lebih daripada hanya pasrah dengan keadaan. Kalau kita lemah, mereka akan semakin menginjak-injak kita. Nyatanya Agency dan majikan tetap di bawah Depnaker. Makanya jangan takut. Dan ini jadi pelajaran untuk majikan lain, agar tidak seenak jidat memperkerjakan kita di rumah mereka.” Wina mengakhiri obrolannya denganku sore itu. Dan jujur, aku sangat kagum pada kesabaran dan keberaniannya.

Di sudut kota ini banyak sekali cerita yang ingin kusampaikan. Taiwan tak seindah pandangan netizen di media sosial. Yang mana bertaburan banyak postingan-postingan menyenangkan yang menghiasi hari liburan. Selain Wina, aku pun mengenal Adi. Adi adalah korban penipuan PJTKI yang memproses dirinya dengan menggunakan paspor turis. Yang mana, masa berlaku paspor tersebut hanya untuk tiga bulan saja. Aku bertemu Adi cukup lama.  Tapi tidak lebih lama dari Wina. Keadaan membuatnya jadi TKI kaburan. Dia bekerja dari satu pabrik ke pabrik lain secara ilegal. Tapi niat tulusnya tetap suci. Dia sama seperti kami yang ingin mengais rezeki di negara ini. Menghidupi keluarga kami di rumah dengan uang yang halal. Hanya saja, nasibku jauh lebih beruntung daripada Adi. Aku bisa berlibur kemana pun yang aku inginkan. Sedangkan dia, waktu libur hanya ia habiskan di sekitar sini. Dia tidak mau tertangkap polisi dan pulang sebelum membawa hasil. Atas hal ini, siapakah yang patut disalahkan?

“Dulu, aku nyaris tertangkap polisi saat turun dari taksi di depan stasiun.” Adi, kawan baikku itu menceritakan perjuangannya sebagai TKI ilegal di negara ini.

“Bagaimana kau bisa lolos?” tanyaku penasaran.

“Aku bersembunyi di lorong sempit yang gelap. Sebenarnya, kalau pun tertangkap, mereka tidak akan memenjarakan aku. Saat itu, aku baru dua bulan di sini. Masa berlaku paspor turisku masih satu bulan lagi. Tapi aku terbawa rasa takut sendiri. Aku takut dipulangkan.”

“Ya, aku sangat paham posisimu, kawan. Banyak dana yang sudah kau keluarkan untuk bisa bekerja di negara ini, pastinya.”

“Tidak hanya itu, Mas. Dana itu justru hasil hutang orangtuaku agar aku bisa sampai kesini. Alih-alih untung, aku malah ditipu pihak PJTKI sialan itu.” Jelasnya kesal sekali.

“Ya sudah, kawan. Mungkin sudah jalannya. Bekerja sebaik mungkin di tempat ini.
Jangan pernah berlibur di keramaian. Agar tidak kejar-kejaran dengan polisi lagi. Fokus mencari uang saja, untuk membalas jasa orangtuamu. Aku berdo’a semoga kau selamat, dan jika sudah cukup uang. Baru kau serahkan dirimu secara hormat kepada pihak Imigrasi.”

“Ya, benar, Mas. Terima kasih sudah mendukung dan ikut menyembunyikan keberadaanku di sini.

Aku mengangguk dan tersenyum kecil. Kutepuk bahu kawanku yang usianya lima tahun lebih muda dariku itu, isyarat bahwa aku sangat peduli padanya. Ya, aku perihatin. Banyak sekali lintah-lintah darat berbulu domba yang berkeliaran di lingkungan PJTKI. Mereka meraup keuntungan besar bermodalkan kepercayaan para calon TKI yang berakhir penderitaan. Mereka tidak peduli, seperti apa susahnya menjadi TKI ilegal seperti Adi. Yang kemana-mana tak pernah tenang akan serbuan para polisi. Para lintah-lintah darat itu justru bangga dengan profesi mereka yang terkesan terhormat. Tak peduli uang yang mereka raup itu berlandaskan halal atau haram. Yang mereka tahu hanya perut kenyang, rumah bagus, sedang konsekuensi perbuatan mereka yang membuat anak buahnya terlantarkan di negeri ini, mereka acuhkan begitu saja.

Masih banyak Adi-Adi yang lainnya. Masih banyak TKI yang bernasib kurang beruntung bahkan tak mendapatkan hak-haknya sama sekali. Bahkan tindak kekerasan pun tak jarang mereka terima. Jika bukan keberanian yang kita punya, jangan harap hati ini kuat menghadapi kerasnya menumpang di tanah orang. Bekerja di negeri asing tak semudah menunggu kiriman uang setiap bulan. Tetapi wajah-wajah keluarga-lah, yang selalu kami jadikan alasan untuk bertahan setiap kali kami nyaris melambaikan tangan.

“Mas, sedang apa di sini? Hari sudah petang. Ayo kita pulang, mau makan apa nanti malam?” Rudi, teman satu pabrikku menyadarkan aku dari lamunan senja sore ini.

“Kau mau makan apa, Rud? Aku ikut kau saja.”

“Ah, Mas ini selalu saja begitu. Mas ‘kan koki di mess kita. Mas seniorku, aku yang seharusnya ikut aturan Mas dalam segala hal.”

“Jangan begitu, Rud. Senior atau pun bukan, kita ini sama. Aku serius, kau mau makan apa malam ini?”

Rudi tersenyum malu-malu. “Mas selalu merendah. Itu yang aku banggakan memiliki kawan seperti Mas di sini. Oh iya, sebenarnya aku ingin sekali makan rawon. Sangat rindu rawon masakan Emak dulu.”

“Nah, begitu dong. Aku lebih suka kau terbuka seperti ini. Kita ini saudara. Semua teman baik yang kau temui di perantauan adalah saudaramu.”

“Benar, Mas.”

Kami tertawa bersama. Kedatangan Rudi menarik ingatanku tentang Wina dan Adi. Banyak cerita di sudut kota terpencil ini. Banyak tawa tanpa alasan yang keluar begitu saja dari wajah kami. Pun banyak airmata yang begitu saja mengalir di kedua pipi. Tetapi perlu kita ingat, dimana pun kita berada, sesusah atau sebahagia apa pun yang kita rasa, jangan pernah lupa bahwa ada cinta Tuhan di dalamnya.
Selesai.

( Bagi yang berminat untuk mengoleksi bukunya, bisa hubungi aku di
Facebook : Iin Indrayani, yang ada di Indonesia atau juga di Taiwan )
Untuk tanya - tanya harga buku dan koleksi buku novel lainnya, tinggal hubungi langsung ya .... !!!
Salah satu koleksi buku :
- Telaga Hati Shifana : Rp.55.000,-
- Relentless Love       : Rp.70.000,-

Mohon maaf bila ada salah kata atau ucapan dalam penulisan kami ......

Untuk melihat kegiatan kegiatan TBM LENTERA HATI  lihat saja  DI SINI ya ..........
Untuk melihat puisi - puisi lainnya silahkan klik DI SINI
Untuk membaca cerita atau cerpen silahkan klik DI SINI
Untuk download Software,Game,atau Video tingggal klik DI SINI
Bagi yang suka baca berita seputar Indramayu silahkan klik DI SINI
Untuk yang suka membaca Novel DI SINI

Terima Kasih sudah mengunjngi Blog kami TBM LENTERA HATI
Kami tunggu Kritik dan Sarannya  !!!
**
Untuk teman teman yang mempunyai cerpen, puisi, novel, dan lainnya juka ingin di publish di sini silahkan kirim file nya ke email : tbm.lenterahati@gmail.com...

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form