PENGEMIS BERDASI

Ilustrasi Gambar : Relawan TBM Lentera Hati

Page II . PENGEMIS BERDASI

Perlahan, air teh panas yang kemudian dingin itu habis diseruput dhani. Saat menyadari itu, warto lantas berseloroh..
“Kau itu haus atau doyan..?” dhani hanya tersenyum sekenanya lantas menjawab.
“yaah, mau bagaimana lagi, keadaan..”
 Mereka larut dalam tawa.
 
         Malam tiba, warto mengajak dhani untuk menemui bandot, toka, cipluk dan kawok. Berkumpul di depan gang sempit. Duduk bersama, saling sapa, lantas segera bercerita apapun yang bisa diceritakan. Warto mengenalkan dhani sebagai kempleng, seorang pengemis terlunta-lunta yang entah datangnya dari mana. Dhani langsung disambut baik dan hangat oleh yang lain. Meski awalnya ragu, ketika warto menawarkannya setengah gelas tuwak, lantas dhani menyambutnya dengan minum sekali teguk.

Kisah masing-masing kawan warto dhani dengarkan dengan seksama. Kebanyakan dari mereka memanglah broken home. Buka keluarga utuh. Bahkan sempat terdengar oleh dhani, jika cipluk terdengar santai menyebut ibunya goblog.
“Kalau saya sudah punya KTP saya juga mau ikut a kollang ke muara angke.”
“kenapa belum buat KTP?”
“Waktu saya minta mimi untuk membuat KTP, mimi Cuma bilang, buat sendiri,waktu saya tanya, memang umur saya berapa, mimi bilang tidak tahu.”
Yang lain tertawa hingga terkekeh, sedang Dhani menjulurkan kepala lantas bertanya
“Bagaimana bisa ibu mu tidak tahu?”

Mimi cipluk, sering bolak-balik luar negeri. Sejak cipluk masih berumur 4 bulan. Cipluk sendiri di asuh mak gede yang sembarang merawatnya. Begitupun bandot, toka dan kawok. Tidak begitu berbeda. Begitu banyak kisah miris yang mereka bagi. Kisah masa kecil, juga pekerjaan yang terkadang, upahnya tak sebanding. Di situ, dhani hanya bisa menyimak tanpa bisa menyela sekedar bertanya, apakah mereka memang sangatlah lapang mengikuti arus takdir yang mungkin tampak tidak begitu ramah?

Selang setelah seminggu lebih ikut warto mengumpulkan sampah, dari botol plastik bekas dan runtukan, dhani pamit untuk pulang ke rumah. Bersama warto, mereka naik angkot ke jati barang lantas, dan mengantar dhani ke stasiun kereta. Dengan menumpang kerta argo jati-lebak bulus, dhani pamitan pada warto yang ia anggap malaikat yang tak mau bersayap.

Berapa lama setelah kepergian dhani, barulah, ia bisa bertemu dengan dhani lagi. Di sini. Duduk dan ngobrol bersama seperti kawan lama yang merindukan kisah mereka diantara gelas tuwak yang bergilir. Lantas, dhani bertanya
“To, kamu mau tidak ikut reang ke jakarta?”
“Ngapai? Cari runtukan?”

Sejenak mereka melepas tawa yang sedikit terbahak, lantas dhani mengisutkan rahang dan diam menatap warto dengan tatapan sinis
“Bukan. Tapi ngerampok bandar runtukkan. Supaya nanti runtukannya bisa dijual lagi ke bandar runtukan.”
Warto terdiam lantas meminum segelas jus jeruk di depannya tanpa sisa. Menatap lekat-lekat dhani dan berkata.
“Cukup reang, bandot, cipluk, toka dan kawok saja yang leg log. Kamu jangan.”
Sedikit jeda, sampai setelahnya mereka kembali terbahak, sambil mengenang kekonyolan dan kisah-kisah lalu yang mereka pernah bagi.

Lantas, dhani pun kembali menyinggung, untuk mengajak warto ikut bersamanya.
“Banyak hal yang bisa kamu lakukan sebenarnya. Saya bisa bantu kamu merintis untuk memulai lagi bengkel yang pernah kamu tekuni dulu. Kalau sukses kan bisa hidup enak lagi. Tidak perlu susah cari runtukan. Dan tuwak mu pun bisa sedikit naik kelas, ke bir atau sekalian martini.”
Dhani kembali tertawa, sedang warto diam menatapnya.
“Kenapa?”
Warto beranjak dari kursi dan meringkas karung dan gancunya.
“Kau amu kemana, to?”
“Pulang. Kau juga lebih baik pulang.”
“To, tunggu, apa ada dari kalimatku yang menyinggungmu? Aku minta maaf.”
“Tidak. Pulanglah. Karena itu memang tempatmu berasal. Dan akupun akan pulang pada rumahku. Bukan aku menolak. Tapi, aku sudah merasa cukup dengan ini. Biarkan saja begini. Saya sudah pernah dilimpahi sesuatu yang lebih. Dan iitu sudah lebih dari cukup. Saya hanya menerima apa yang ada sekarang. Dan saya merasa jauh lebih baik seperti ini. Inilah saya. Tawarkan saja pada orang lain. Yang mungkin belum pernah merasakan hal-hal macam itu. Pulanglah, batur.”
Warto berbalik dengan senyum , menggendong karung dan gancunya. Berjalan dengan tegap ke arah pintu.

“To, kalau memang tidak mau, paling tidak, biarkan aku mengantarmu.”
“Tidak perlu, sekalian jalan saja. Saya mau cari runtukan.”
Warto pergi, kemana kaki dan terik hari membawanya. Berteduh di bawah topi lusu menerjang angin takdir yang hampi membawanya pada kehidupan baru. Yang justru di tolak warto, atas nama kenyamanan yang sudah dirasakan karena syukur tersirat yang tidak bisa ia ungkapkan pada pemilik hidup yang membukakan matanya.

                                                                                             Indramayu, 8 maret 2016

Sampai di sini dulu ya.......... nanti di sambung lagi CERPEN berikutnya!!! NEXT

Mohon maaf bila ada salah kata atau ucapan dalam penulisan kami ......

Untuk melihat kegiatan kegiatan TBM LENTERA HATI  lihat saja  DI SINI ya ..........
Untuk melihat puisi - puisi lainnya silahkan klik DI SINI
Untuk membaca cerita atau cerpen silahkan klik DI SINI
Untuk download Software,Game,atau Video tingggal klik DI SINI
Bagi yang suka baca berita seputar Indramayu silahkan klik DI SINI
Untuk yang suka membaca Novel DI SINI


Terima Kasih sudah mengunjngi Blog kami TBM LENTERA HATI
Kami tunggu Kritik dan Sarannya  !!!
**
Untuk teman teman yang mempunyai cerpen, puisi, novel, dan lainnya juka ingin di publish di sini silahkan kirim file nya ke email : tbm.lenterahati@gmail.com

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form