SURAT CINTA DARI SURGA . BAB, 1 Part 1 (Airmata Ketiga)




Oleh IIN INDRAYANI



1. AIRMATA KETIGA

Tanah masih basah. Embun masih utuh. Pohon-pohon di sekitar rumah sederhana tampak bertasbih lewat gerimis yang hadir menerpa bumi. Angin berhembus kencang. Jalan raya begitu ramai dengan kendaraan roda dua dan roda empat yang saling mendahului. Sebuah warung kecil milik perempuan berusia tiga puluh tahunan tertutup rapat dengan gembok yang tergantung di luar pintu. Gedung sekolah menengah pertama di depannya masih berdiri kokoh dengan pintu gerbang yang tertutup juga. Jalanan itu. Ya, jalanan itu adalah saksi di mana satu tahun lalu seorang pemuda dipertemukan oleh Allah dengan gadis bercadar yang sangat cantik jelita. Dan di jalan itu juga seorang kakek berusia tujuh puluh tahunan tergeletak tak berdaya setelah dibuang oleh anaknya yang durhaka. Kakek berbadan bungkuk dan berbibir sumbing kini hidup lebih makmur dari sebelumnya. Beliau tak lagi menetap di kontrakan milik sekolah. Tetapi, beliau tinggal di rumah seorang nenek yang mana cucunya adalah orang yang sudah menolongnya dari jerat kematian.

Pagi ini, matahari belum menampakkan sinar kesetiaannya. Mendung langit memberi isyarat bahwa hujan mengguyur semalaman. Semuanya terlihat lembab. Motor matic merah masih mengonggok di teras depan. Rumah sederhana itu terlihat asri walau sekilas genteng-gentengnya tampak tua tak beraturan. Ammar, membuka pintu dan menengadahkan kepalanya ke atas langit. Lurus, penuh makna. Selalu seperti itu. Selalu saja demikian. Hadirnya hujan membawa imajinasinya melayang ke sebuah masa di mana ia baru merasakan indahnya jatuh cinta. Masa di mana ia telah menemukan sosok Alea yang sangat dicintainya. Seorang perempuan yang memiliki jiwa sebening embun serta hati seluas samudera. Dan perempuan itu kini telah pergi. Meninggalkannya menaungi sisa hidup di kehidupan ini seorang diri. Alea telah tiada. Menemui Illahi Rabbi yang selalu ia puja di setiap detak jantungnya. Di setiap urat nadinya. Dan di setiap hembusan napasnya.
Pedih memang. Bahkan benar-benar pedih. Ia telah menjadi seorang suami. Namun, sosok istri yang seharusnya hadir hanya bisa ia peluk dalam petikan tasbihnya. Petikan tasbih akan kerinduan-kerinduannya yang selalu berujung lelehan airmata. Ammar memejamkan mata. Ada cairan bening yang jatuh dari pelupuk matanya. Hatinya teriris-iris. Batinnya memberontak memerangi hasrat. Hal itu membuatnya lemah. Terkadang ia merasa tak mampu untuk menjalani sisa hidupnya tanpa Alea. Namun, terkadang ia juga sadar bahwa tanggungjawabnya di dunia masih sangat panjang.

Perlahan Ammar duduk di sebuah kursi plastik yang mulai usang. Tiba-tiba ia merasakan sakit yang lebih sakit dari sebelumnya. Ia tersadar, saat ini tak hanya Alea yang telah pergi meninggalkannya. Tapi Nenek Maryam pun telah pergi ke Jannah-Nya. Tepatnya, tiga bulan yang lalu.
***

“Ammar, kenapa kamu menginap di sini? Bagaimana keadaan ayah mertuamu, apa dia baik-baik saja?”

Pertanyaan itu selalu dilontarkan Nenek Maryam apabila Ammar menginap di rumah beliau. Sebenarnya, Ammar hanya rindu dengan kamarnya di rumah itu. Selama lebih dari delapan bulan, ia menetap di rumah Pak Subhan dan menempati kamar almarhumah istrinya tercinta, Alea Maulidina. Hal itu membuat dirinya semakin sulit untuk menerima kenyataan bahwa Alea telah kembali kepada Rabb-nya. Akan tetapi, bukan Ammar bila ia tak pandai menyembunyikan perasaannya. Ia berusaha tetap tenang di depan ayah mertuanya untuk menjaga perasaan beliau. Apalagi kondisi kesehatan beliau mulai menurun sejak kematian putri semata wayangnya. Tubuhnya kurus. Kumis yang dulu tipis saat ini terlihat agak tebal. Wajahnya kusut. Tak satu senyum pun keluar untuk menyapa tetangga yang berkunjung ke rumahnya. Hatinya hancur. Batinnya lebur. Rumah itu bagai neraka bagi Pak Subhan karena bayang-bayang Alea memakan seluruh isi di otaknya. Ammar sering kali melihat ayah mertuanya itu tertawa sembari menggelitiki kucing-kucing peninggalan putrinya. Di ujung tawa itu, beliau selalu menangis histeris seperti orang tak waras. Ammar amat prihatin dengan kondisi beliau. Itu salah satu alasan yang membuatnya susah untuk melewati hari-hari di sana dengan damai.

“Ammar rindu dengan kamar Ammar Nek, satu malam saja ya, izinkan Ammar untuk tidur di sini. Pak Subhan baik-baik saja, Nenek jangan khawatir. Besok sebelum mengajar, Ammar pasti akan pulang ke rumah beliau.”

Nenek Maryam tersenyum kecil. Wajah keriputnya masih terlihat cantik dengan balutan jilbab segi empat yang beliau kenakan.“Baiklah, terserah kau saja, Le . Istirahatlah, malam sudah larut.”

“Injih , Nek..”

Ammar masuk ke dalam kamarnya. Langkah kakinya terhenti saat menatap sebuah pita abu-abu yang terpajang di dinding. Tepatnya di sebelah lukisan kaligrafi karyanya sendiri. Pita itu menarik ingatannya saat Alea diketahui mengidap kanker otak stadium tiga. Di saat itu ia sama sekali tak mengira, bahwa lambang pita abu-abu adalah lambang sebuah kanker yang mematikan. Hampir semua kucing milik Alea memakai kalung yang dirajut dari pita abu-abu. Bahkan gelang tangan yang dipakai Alea pun berbahan dasar yang sama. Wajah Alea, sang istri tercinta yang telah tiada kembali menari-nari di otaknya. Lelaki saleh itu memejamkan kedua matanya. Ada setetes molekul yang siaga di sudut mata sebelah kanannya. Dan kepedihan hati mengurungkan niatnya untuk tidur di kamar itu.

Ia menutup kembali pintu kamar dan duduk di ruang tamu. Nenek Maryam memperhatikan dirinya dari balik pintu. Wanita tua berhati emas itu sangat paham apa yang di rasakan cucunya saat ini. Sembilan bulan kepergian Alea tak membuat ingatan cucunya pudar sedikit pun. Justru beliau melihat cinta yang semakin besar dari Ammar untuk Alea, sang istri yang tak pernah terjamah olehnya. Dengan penuh kasih, Nenek Maryam mendekati Ammar untuk menyuntikkan sebuah nasihat penyemangat hidup.

“Sabar Ammar, Gusti Allah tidak akan memberimu cobaan di luar kemampuanmu. Ingat itu!”

Airmata Ammar meleleh. “Sakit Nek, pedih sekali. Ammar tidak bisa hidup seperti ini. Ammar butuh Alea, Nek. Ammar sangat mencintainya.”

Lelaki saleh itu meringsut dan menenggelamkan keningnya pada telapak tangan neneknya sambil menangis tersedu- sedu. Itu adalah hal yang tak dapat ia lakukan saat berada di rumah Pak Subhan. Malam itu ia keluarkan semua beban di hatinya kepada Nenek Maryam. Satu-satunya wanita yang paling mengerti siapa dirinya dan satu-satunya wanita yang dapat dijadikan penenang saat ia terperosok ke dalam masalah sebesar apa pun.

“Nenek yakin kamu bisa. Kamu itu kuat. Kamu istimewa. Jangan menangis lagi cucuku, tersenyumlah untuk nenekmu ini. Ada kalanya hidup memang pedih. Dari kepedihan itu kita belajar banyak hal untuk fokus pada alasan kenapa kita dihidupkan.”
Ammar menengok wajah neneknya dengan perasaan luluh.

“Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya .”

Ammar mengangguk pelan. Nenek Maryam mengusap airmata di wajah cucunya dengan lembut. Pancaran kasih wanita tua itu bagai desiran angin di panasnya gurun pasir. Tak lama kemudian Ammar masuk kembali ke kamarnya, setelah meninggalkan seutas senyum selamat malam kepada beliau.

Shubuh pukul 04.30, Ammar dikagetkan oleh suara hentakkan yang begitu keras dari arah dapur. Dengan cepat ia keluar kamar dan berlari ke sumber suara. Wajahnya tegang. Kedua matanya seakan ingin meletus keluar. Pemandangan mengerikan ia lihat pagi itu di mana Nenek Maryam terjatuh di kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur. Tubuh rentanya tertimpa triplek dari atas langit-langit. Entah bagaimana triplek tersebut bisa berada di sana, atau memang neneknya sengaja menyimpan karena kapasitas gudang yang sudah penuh. Ammar berteriak histeris dan langsung menggendong neneknya ke kamar. Direbahkannya tubuh renta itu di atas tempat tidur dengan penuh kekhawatiran. Tidak ada luka atau darah yang keluar. Tapi Nenek Maryam tak sadarkan diri. Beliau pingsan. Tanpa pikir panjang, Ammar langsung mencari bantuan keluar untuk membawa neneknya ke rumah sakit.
Pagi buta, lelaki saleh itu mondar-mandir di rumah Mbak Mun, si pemilik warung di depan sekolah dan tetangganya yang lain. Berharap mereka sedia membantu menyelamatkan Nenek Maryam secepat mungkin. Nasib baik menghampirinya. Tetangga Mbak Mun yang memiliki mobil bersedia untuk menolong mereka. Hingga Nenek Maryam segera dibawa ke rumah sakit. Sebuah gedung yang penuh dengan memory, di mana dulu Ammar menikahi Alea dan berpisah dengannya juga di sana.

Dokter menyatakan Nenek Maryam baik-baik saja. Namun Ammar masih tak percaya. Suara hentakan triplek yang begitu keras masih terdengar jelas di telinganya. Ia sangat yakin, kepala neneknya mengalami luka yang cukup serius. Ia pun meminta dokter untuk memeriksa bagian kepala neneknya itu. Namun, nihil. Mereka tidak menemukan kejanggalan apa pun di dalamnya. Mendengar semua itu, hati Ammar sedikit lega.

“Bagaimana kejadiannya Mas Ammar, kok Nenek bisa terjatuh?” tanya Mbak Mun, seorang wanita pemilik warung yang sangat dekat dengan mereka.

“Aku tidak tahu, Mbak. Shubuh tadi aku mendengar suara benda terjatuh sangat keras dari dapur. Aku berlari dan menemukan Nenek sudah pingsan. Ada sebuah triplek yang menimpa tubuh beliau, sepertinya terjatuh dari langit-langit.”

“Itu Mbak Mun yang meletakannya di sana, Mas. Nenek yang meminta, karena gudang sudah penuh. Maafkan Mbak ya, Mas Ammar. Mbak sangat menyesal dengan musibah ini.”

“Bukan salah Mbak Mun. Memang tak seharusnya benda itu berada di sana. Tapi semua sudah terjadi. Sekarang kita berdo’a saja untuk kesembuhan Nenek ya, Mbak”

Mbak Mun mengangguk. Wanita yang cukup dekat dengan Ammar dan Nenek Maryam itu tampak menunduk. Ada penyesalan dan rasa bersalah di wajahnya. Mbak Mun memang sering menemani Nenek Maryam semenjak Ammar menetap di rumah Pak Subhan. Namun, tidak setiap waktu. Karena, selain Nenek Maryam masih sehat, ia sendiri memiliki kesibukan di rumahnya. Belum lagi sebuah warung yang setiap hari harus ia buka. Dan hal itulah yang sedang dipikirkan oleh Ammar. Nasib baik karena saat kejadian dirinya sedang menginap di sana. Bagaimana jika tidak? Siapa yang akan menolong neneknya? Dan apakah nyawa neneknya bisa terselamatkan seperti sekarang? Ammar mencengkeram kepalanya dengan kedua tangannya sendiri. Ia mengucapkan istigfar sebanyak mungkin, lalu duduk di sebuah kursi yang berada di depan kamar neneknya.

To be continue..

( Bagi yang berminat untuk mengoleksi bukunya, bisa hubungi aku di
Facebook : Iin Indrayani, yang ada di Indonesia atau juga di Taiwan )
Untuk tanya - tanya harga buku dan koleksi buku novel lainnya, tinggal hubungi langsung ya .... !!!
Salah satu koleksi buku :
- Telaga Hati Shifana : Rp.55.000,-
- Relentless Love       : Rp.70.000,-



Mohon maaf bila ada salah kata atau ucapan dalam penulisan kami ......

Untuk melihat kegiatan kegiatan TBM LENTERA HATI  lihat saja  DI SINI ya ..........
Untuk melihat puisi - puisi lainnya silahkan klik DI SINI
Untuk membaca cerita atau cerpen silahkan klik DI SINI
Untuk download Software,Game,atau Video tingggal klik DI SINI
Bagi yang suka baca berita seputar Indramayu silahkan klik DI SINI
Untuk yang suka membaca Novel DI SINI

Terima Kasih sudah mengunjngi Blog kami TBM LENTERA HATI
Kami tunggu Kritik dan Sarannya  !!!
**
Untuk teman teman yang mempunyai cerpen, puisi, novel, dan lainnya juka ingin di publish di sini silahkan kirim file nya ke email : tbm.lenterahati@gmail.com

2 Comments

  1. Nunggu keberkahannya saja kak,
    Sy hanya bisa berdo'a semoga laris manis berkah bermanfaat.
    Sukses selalu kak.

    ReplyDelete
Previous Post Next Post

Contact Form