ANAK - ANAK LAUT

Bag. II

Anak - anak Laut
....................................................
Oleh : Nurochman Sudibyo YS 


     Wartawan televisi memanfaatkan momen penderitaan rakyat itu jadi promo perusahannya. Tokoh masyarakat bermunculan datang dengan linangan airmata, ia membawa serta armada, dukungan dana dan aneka'bendera' di bahan makanan bawaanya. Semua bantuan terkumpul di kepanitiaan yang spontan terbentuk. Semua bantuan tokoh politik negeri memanfaatkan peristiwa tersebut sembari memesan acara-acara utama di stasiun tv swasta.

    Sementara warga Muara Angin yang selamat dari bencana semalam, malah asik dalam kesendirian. Mereka begitu suntuk merasakan kebisuan. Ada bebeapa di antara mereka bergairah membangkitkan kembali rumah hunian dan membersihkan pagar pekarangan yang rusak berat. Gara-gara peristiwa kemarin. Di antara mereka menjadi masyarakat pendiam. Semua sulit diajak bicara. Sepertinya orang-orang pribumi di sini sudah trauma dengan bencana. Berkali pihak pamong desa memberikan penjelasan, namun mereka tidak bergeming. Tidak ada senyum terkulum di wajah, kecuali pandangan mata yang kosong. Matanya melolong kea rah depan. Selalu saja mereka segera pergi saat di dekati dan membisu sembari berupaya kembali memperbaiki halaman rumah mereka  yang tengah di benahi.
      
     Sesekali terlihat mereka menampakkan perasaanya diam. Sikap apatisnya itu di tumpahkan dengan memandang kea rah laut. Entah apa yang di sampaikan. Kekecewaan atau ketakutan yang tak terungkap. Mereka enggan beranjak ke tempat pengungsian. Mereka dengan setia berdiri di atas tanah pesisir. Meski berkali angin barat dan hujan deras menghanatam tubuh serta rumahnya.

     “Pak Dawud, sudahlah tak perlu kita sesaliperistiwa yang telah terjadi. Mari kita bersama benahi apa yang rusak, dan kita tata kembali agar waktu yang akan datang tidak terjadi lagi banyak korban seperti bencana sekarang ini," ujar Lurah Parto sembari memegangi payung hitam dan menahan dengan kuat danri guncangan angin.

     Pa Dawud hanya menundukan kepala mendengar semua yang di paparkan oleh pak Lurah Parto, Berkali ditanya, berkali pula iatak menjawab sepatah kata pun. Matanya seperti merasa terganggu dengan pemandangan baru di desanya yang telah hancur. Dimana-mana ada anak-anak mudan dari kota dan luar desa yang mondarmandir. Mererka terlihat sibuk, namun entah apa yang di sibukannya. Pak Dawud pun tidak peduli dengan akitvitas orang-orang pendatang itu.

     Penduduk setempat semakin jelas dan banyak tahu yang di lakukanorang-orang kota setelah siang malam berjaga. Mereka memang telah mmberikankeajaiban pada desanya. Tapi mereka juga membuat tenda untukdiri mereka sendiri. Mereka menhimpun seluruh bantuan yang datang dan mengaturnya sendiri. Muara Angin serentak jadi kota darurat. Ada semacam perkantoran yang membawahi datangnya semua bantuan. Tentu saja yang terlibat cuma sukarelawan dan petugas pamong . Ada pula divisi yang menangani perbaikan jalan serta jembatan. Di antara mereka ada yang membuat dapur umum yang menginstrusikan jadwal makan sehari tiga kali. Masyarakat Muara Angin termasuk Pak Dawud dan keluarganya tetap tidak perduli.

     Setiap hari yang sibuk adalah orang-orang baruyang saling berkenalan satu dengan yang lainnya. Tekadnya cuma satu, peduli pada bencana. Dalam seminggu perkampungan Muara Angin berubah menjadi pedukuhan baru. Rumah hunian baru, balai dusun baru, jalan baru, dan jembatan pun baru. Kendaraan dari kampung pedalaman pesisir menuju kota pun kemudioan terlihat ramai. Antara pengelola lahan bencana, pihak penguasa dan para sukarelawan silih baergantidatang dan pergi.

     "Sudahlah, jangan dipikirkan apa yang mereka lakukan. Mari kita manfaatkan bantuan ini demi kemaslahatan," ujar salah seorang wanita gendut berpakaian seragam putih.

     Perbincangan terdenagar di suatu malam di antara petugas penerima dan bantuan korban bencana. Merka adalah para sukarelawan yang berbeda pemahaman., konsep dan berbeda juga tujuan dan motivasinya.

    "Maksud anda apa? Kemaslahatan yang bagaimana ? Bukankah sebaiknya kita bagi saja semua yang kita terima pada para penduduk korban bencana ini? Adapun lebihnya kita sisakan sedikit untuk jasa jerih payah kita, dengan begitu kan cepat beres!" ucap lelaki muda berbadan tegap dengan seragam hitam dan sepatu mengkilap.

     "Merka tidak mau,Boss. Mereka menolak bantuan, menolak rejeki, dan ini fatal, kalu di dengar oleh kalangan pemerhati sosial atau pihak yang telah menyumbang. Kita selaku panitia, atas nama korban bencana, hemmmmmm,.....artinya nama baik panitia bisa tercemar dan tidak di percaya, dan bisa repot kalau sampai di ungkap lewat media masa," balas wanita gendut itu lagi.

     Mereka berpisah di ujung malam. Lelaki muda itu terus berjalan masuk ke kampung Muara Angin. Ia mencoba mengajak bicara masyarakat setempat. Tangannya tidak diam. Mereka terus menerus membenahi jaring alat tangkap ikan di laut yang masih tersisa. Ketika ku ajak bicara soal laut dan bercerita tentang ikan, mereka teatap tak maumeresppon. Kalaupun mau melirik, justru karena aku mulai menyalakan roko. Seperti biasa ku tawari orang di dekatku itu untuk mengambilnya sebatang. Ia mau menerima tawaranku. Kunyalakan roko yang sudah ada di bibirnya. Mereka mulai memberi sedikit senyum. Tapi bkan jawaban atas segala jenis pertanyaan.

     Pengalaman semalam tenatang roko ku ceritakan pada teman-teman sesama sukarelawan. Namun sampai datang harinya, berita perkembangan psikis masyarakat korban bencana di anggap mulai membaik. Tidak ada seorangpun peduli dengan kebutuhan pokok mereka. Mereka diam karena panitia dan para sukarelawanasyik dengan kesibukannya. Mereka tak tahu ada senyum yang tersembunyi dari apa yang di butuhkan  dan yang tak pernah terpikirkan oleh masyarakat luar dan pemerintah setempatsekelaipun yang ada di tengarai peduli pada kondisi mereka.

     Menurut Pak Dawud, ikan-ikan di sungai telah mati, Nyawa kura-kura, lele, kocolan,, betik, keting, salem, nila, dan mujair serta kakap sudah berpindah ke daratan. Begitu juga ualar, lingsang, landak,musang, biawak, dan buaya yang biasanya masih bertahan di sekitar muara, kini sudah sirna tanpa di ketahui ke mana perginya. Mungkin juga sudah masuk ke daratan. Dengan kata lain telah menjelma menjadi manusia, atau jiwa raga mereka merasuk pada manusia.

     Pak Dawud merasa risih saat didekati. Ia masih punya waktu untuk anak-anak mereka. Siapa tahu ada yang bisa mealut dan menguasai negeri bahari ini atas ajaran yang tertanam dari nenek moyangnya. Terdengar tembang di kejauhan, semakin jauh,  semakin menjauh,"Nenek moyangku seorang pelaut....gemar mengarung luas samudra." mereka larut pada laut tanpa takut di terpa ombak dan badai samudra.***


                                                                                         Pangkah Slawi, 13/8/2013
                                                                                                Indramayu,13/9/2017
   

Kembali ke Bag : I Next

Klik Next
Antologi 25 Cerpen Pesisir Nusantara 2017

Mohon maaf bila ada salah kata atau ucapan dalam penulisan kami ......

Untuk melihat kegiatan kegiatan TBM LENTERA HATI  lihat saja  DI SINI ya ..........
Untuk melihat puisi - puisi lainnya silahkan klik DI SINI
Untuk membaca cerita atau cerpen silahkan klik DI SINI
Untuk download Software,Game,atau Video tingggal klik DI SINI
Bagi yang suka baca berita seputar Indramayu silahkan klik DI SINI
Untuk yang suka membaca Novel DI SINI

Terima Kasih sudah mengunjngi Blog kami TBM LENTERA HATI
Kami tunggu Kritik dan Sarannya  !!!
**
Untuk teman teman yang mempunyai cerpen, puisi, novel, dan lainnya juka ingin di publish di sini silahkan kirim file nya ke email : tbm.lenterahati@gmail.com

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form