TELAGA HATI SHIFANA, Bab 1 ( Gadis Bermata Biru Kecoklatan )

1.GADIS BERMATA BIRU KECOKELATAN

Malam itu begitu sunyi, hanya terdengar suara angin dan serangga kecil. Hujan baru saja turun beberapa menit yang lalu. Gang kecil yang menghubungkan beberapa dusun tampak tergenang air begitu cepatnya. Curah hujan yang cukup besar membuat jalanan menjadi licin, ditambah lagi dengan lubang-lubang yang menghiasi jalanan tersebut sehingga sangatlah persis seperti kolam ikan yang siap dipancing anak-anak kecil.

Pohon-pohon di kanan kiri jalan bergoyang-goyang gemulai terterpa angin dan hujan. Hamparan perkebunan teh yang luas di belakang dusun itu tak terlihat sama sekali lantaran gelapnya langit tertutup mendung. Perkebunan teh itu adalah ladang rezeki bagi penduduk di sekitarnya. Hampir 60% penduduk dusun itu bermata pencaharian sebagai petani teh, kina, kopi, dan sayuran, sedangkan sisanya menggeluti usaha peternakan sapi dan kolam ikan.

Sebuah motor terlihat kesulitan melewati jalanan rusak itu. Bunyi motor bututnya seakan bercengkerama dengan suara air yang diterjang oleh ban motornya. Sesekali air genangan itu menciprati kaki wanita yang membonceng di belakang motor. Wanita itu berteriak marah sembari menepuk-nepuk punggung pengendara motor yang sedang berusaha menjaga keseimbangan kendaraannya agar tidak sampai terjatuh.

Namun, dewi fortuna ternyata belum berpihak pada mereka. Motor butut itu oleng, bannya yang sudah gundul menabrak sebuah batu besar di tepi jalan hingga mereka terpental jatuh ke dalam selokan yang sangat kotor.

Kepala mereka muncul satu persatu. Hanya dua pasang bola mata berkedip-kedip, sedangkan bagian muka mereka yang lainnya tak terlihat sama sekali. Wanita itu geram,  marah, dan berteriak memanggil-manggil nama si pengendara motor yang adalah suaminya sendiri. Suami- nya datang dengan tergopoh-gopoh sambil mengusap air comberan yang membasahi seluruh tubuhnya.

Motor yang mereka naiki posisinya terbalik di dekat tempat kejadian. Lampu senter yang masih menyala memudahkan lelaki itu menemukan tempat istrinya berada. Tak lama kemudian, wanita berbadan gemuk dan berambut ikal sepinggang itu berhasil keluar dari selok- an yang menjijikkan setelah ditolong suaminya. Mereka terkapar di tepi jalanan dengan bau busuk yang sangat menyengat.

Suami istri itu lalu menghampiri motor butut mereka dan berjalan pulang dengan raut wajah sangat kesal. Kondisi motor cukup menyedihkan, dan kaca spionnya hilang entah terpental ke mana. Mereka tidak peduli dengan tubuh mereka yang bau. Mereka juga tidak peduli dengan keadaan motor mereka yang rusak parah.

Perjalanan mereka masih jauh. Sang istri menumpahkan amarahnya dengan terus berceloteh menyalahkan suaminya. Sang suami hanya diam sambil menuntun motor butut mereka. Kalau saja kejadian itu terjadi pada siang hari, pastilah si istri akan menggerus wajah suaminya karena malu. Pasangan suami istri itu memang terkenal angkuh oleh penduduk di sekitarnya. Bukan karena mereka horang kayah  ataupun orang yang terpandang di dusun itu, melainkan karena sifat asli mereka memang sombong. Mereka suka memamerkan harta tatkala mendapat tambahan rezeki dari hasil kerja sang suami. Padahal, sang suami hanya bekerja sebagai kuli di sebuah pabrik teh di kota itu. Tutur kata mereka pun sangat kasar. Bahkan, tak jarang para tetangga sering mendengar cekcok di antara suami istri itu, baik pada siang hari maupun saat tengah malam.

Selang setengah jam mereka berjalan kaki, si istri mulai kelelahan. Mereka berhenti dan berteduh di sebuah pos ronda yang kayu-kayunya sudah keropos dimakan rayap. Si istri langsung duduk begitu saja. Namun sial, badannya yang subur itu ambruk bersamaan dengan kayu-kayu keropos yang dikiranya meja pos ronda. Wanita itu mengerang kesakitan. Alih-alih menolong, suaminya malah tertawa terbahak-bahak melihat tubuh istrinya tersungkur di atas tanah. Kakinya yang besar tampak tersangkut sebuah kayu membuatnya kesulitan berdiri.

“Hei bodohhh! Sampai kapan kau menertawakan aku? Bantu aku cepat, atau kau tak akan dapat kamar malam ini,” ancam wanita berbadan gemuk itu.

Si suami langsung menutup mulutnya rapat-rapat. Tubuhnya yang hitam kurus dengan rambut agak keriting itu berusaha untuk membantu istrinya berdiri, tapi sia sia saja. Ia justru ikut tertarik oleh tangan istrinya dan jatuh kembali secara bersamaan.

“Dasar bodoh! Suami macam apa kau ini, sejak menikah hingga saat ini kau selalu membuatku sengsara, Basri!” ketus wanita itu.

“Dasar kau tidak sadar diri, lihatlah badanmu yang sebesar tangki itu, mana bisa aku menolongmu. Mun di- umpama keun tehnya, maneh teh jiga nomer nol, urang jiga nomer hiji . Jelas saja aku tidak akan kuat mengangkatmu Lastri!“ balas Basri.

“Dassaaar Basssriiii, sengsara teuing hirup urang teh ayeuna mah Bassriiiiii. Maneh teh bisana naon atuh geura ngomong tong cicing ue !” balas wanita yang dipanggil Lastri oleh suaminya.

Basri hendak membuka mulutnya, tapi diurungkannya begitu saja. Tiba-tiba pertengkaran mereka berubah menjadi keheningan yang mencekam. Suara bayi yang terdengar nyaring langsung tertangkap oleh indra pendengar mereka. Bayi itu terus menangis, bahkan tangisannya memilukan sekali. Suasana di sekitar yang masih gerimis membuat nuansa semakin horor bagi mereka. Lastri memegang lengan tangan Basri dengan kuat. Sementara Basri melirik ke kanan dan kirinya untuk mencari sumber suara bayi tersebut.

“Basri ari maneh bade kamana atuh, tong ningalna urang sorangan ,“ lirih Lastri ketakutan.

“Sudah diam. Aku mendengar suara bayi menangis pilu sekali di dekat sini. Kau tunggu di sini nanti aku akan kembali.“

Basri melepas pegangan tangan istrinya, lalu pergi mencari sumber suara itu. Istrinya masih kesal dan semakin ketakutan. Ia berusaha meraih pegangan kayu untuk berdiri, lalu membuntuti Basri dari belakang.

Basri melihat ke sana ke mari dengan teliti. Suasana yang gelap gulita membuatnya kesulitan mencari sumber suara bayi tersebut. Kakinya melangkah ke kiri, menerobos sebuah jalan setapak yang menghubungkan dusun itu ke sebuah perkebunan teh yang sangat terkenal di daerah itu. Akan tetapi, suara bayi itu malah semakin kecil terdengar.
Basri memutuskan kembali ke dekat pos ronda yang baru saja ambruk itu. Ditelitinya lagi suara bayi itu dengan penuh keseriusan. Suaranya kembali terdengar jelas oleh telinga mereka. Nadanya semakin memilukan dan menusuk hati siapa pun yang mendengarnya. Lastri terkejut saat melihat sebuah cahaya kecil keluar dari samping tempat sampah yang bagian atasnya tertutup oleh beberapa helai daun pisang.

“Basriiii, coba lihat itu ada cahaya kecil di dekat tempat sampah dan sepertinya suara bayi itu bersumber dari tempat itu Basri,” gumam Lastri dengan bahasa Sunda yang sangat kental dan masih dengan mimik ketakutan.

Basri mengangguk ragu, tapi kemudian ia melangkah ke arah tempat sampah itu, diikuti Lastri dari belakang. Basri melempar daun-daun pisang yang menutupi cahaya tersebut dan seketika kedua matanya terbelalak dengan apa yang dilihatnya saat itu.

Sesosok bayi yang masih merah dengan tali pusat masih menempel di perutnya. Bayi itu terus menangis kedinginan dan kelaparan karena sepertinya seseorang telah membuangnya sejak tadi. Cahaya kecil yang dilihat Lastri ternyata berasal dari lampu senter yang tergeletak di samping badan si bayi.

“Ya Allah..., siapa yang tega membuang bayi tak berdosa ini. Keterlaluan sekali,” lirih Lastri yang langsung mendorong suaminya ke samping lalu memungut bayi itu dan mendekapnya ke dalam pelukannya.

“Eh Lastri tunggu dulu, jangan main ambil saja dong. Bagaimana kalau ada orang yang mengira kita menculiknya?” sela Basri tidak setuju dengan tindakan istrinya.

Lastri tak menghiraukan peringatan dari suaminya. Ia langsung membawa bayi itu dalam pelukannya dan pulang ke rumah mereka secepat mungkin. Basri berlari mengambil motor dan menyusul istrinya dari belakang.

Setelah sekitar 20 menit berjalan kaki, wanita gemuk itu pun tiba di rumahnya. Ia bergegas membuka pintu rumahnya, lalu meletakkan bayi itu di sebuah kasur yang berada di ruang keluarga. Ia meminta suaminya menjaga bayi itu, sementara ia keluar sebentar untuk memanggil paraji  yang tinggal tak jauh dari rumah mereka.

Basri berusaha menghentikan langkah istrinya, tetapi sia-sia. Lastri teramat senang dengan penemuan bayi itu. Selama usia pernikahan mereka yang menginjak sepuluh tahun, Tuhan belum mengaruniai mereka anak.

Lastri kembali bersama seorang paraji yang tinggal di sekitar dusun itu. Tanpa membuang waktu, paraji memotong tali pusat dan membalutnya sehigienis mungkin. Paraji menyuruh Lastri membeli susu khusus untuk bayi prematur karena ia menemukan sebuah kejanggalan di dalam diri bayi tersebut. Tubuhnya kecil, hanya kisaran dua kiloan. Mungkin bayi itu lahir sebelum waktunya, atau memang terlahir seperti itu karena turunan dari orang tuanya. Entahlah, hanya Tuhan yang tahu kebenarannya.

“Kalian menemukan bayi ini di mana? Ada orang tuanya tidak?” tanya paraji tersebut sekembalinya Lastri dari membeli susu formula.

“Kami menemukannya di...”

“Kami menemukannya di dekat rumah bersalin Nyi. Kami tidak sengaja menemukan seorang gadis yang hendak melahirkan di jalan. Lalu kami bawa ke bidan. Karena sudah malam dan hujan sangat lebat, bidan itu tak mendengar suara bel yang kami tekan. Sampai akhirnya, gadis itu melahirkan di depan jalan dan saya sendiri yang mengeluarkan bayi dari perutnya,” jawab Lastri memotong ucapan suaminya dengan mengarang cerita semasuk akal mungkin.

Basri memandang istrinya dengan tatapan marah, tapi Lastri tak memusingkan sikap suaminya. Yang terpenting sekarang ia sudah mempunyai seorang bayi yang selama ini ia idam-idamkan. Hidupnya pasti lebih berwarna dari sebelumnya. Hari-harinya pasti sangatlah menyenangkan dengan kehadiran bayi mungil tersebut.

“Terus ibunya kau bawa ke mana Lastri, apakah dia baik-baik saja?” tanya paraji lagi.

“Ibunya..., oh ibunya..., ibunya dibawa pulang oleh orang tuanya Nyi. Sebenarnya, gadis itu hamil tanpa suami. Biasalah pergaulan masa kini Nyi. Mereka meminta kami merawat bayi ini karena merasa malu dengan aib yang sudah digoreskan oleh putri mereka. Apalagi mereka itu keluarga yang kurang mampu Nyi,“ jawab Lastri sekenanya.

Sesekali Lastri menengok wajah suaminya yang sedari tadi menajamkan mata ke arahnya. Setelah selesai mengurus bayi malang tersebut, paraji itu pamit pulang dengan memberi pesan bahwa sewaktu-waktu mereka bisa memanggilnya lagi jika membutuhkan bantuan. Lastri menyelipkan sebuah amplop kecil ke saku paraji sambil berbisik, “Ini sekadarnya Nyi.”

“Terima kasih Lastri,” ujar paraji.

Sepulangnya paraji tersebut, percekcokan di antara suami istri itu kembali dimulai. Basri yang tidak setuju Lastri membawa bayi itu ke rumahnya terus menyalahkan istrinya atas tindakan yang dinilainya gegabah itu. Namun, jiwa dan naluri Lastri sebagai seorang perempuanlah yang membuatnya berani mengambil risiko sebesar itu. Selama ini ia sangat merindukan mempunyai seorang anak, dan apakah ketika Tuhan menurunkan amanah padanya, ia harus melepaskan kesempatan itu begitu saja?

“Ingatlah Basri, selama sepuluh tahun pernikahan, kita belum dikaruniai seorang anak pun oleh Tuhan. Aku kesepian Basri. Aku ingin merawat bayi ini sebagai teman sepiku sekaligus ladang amal kita di dunia,” bujuknya berharap suaminya bisa menerima keputusannya untuk merawat bayi tersebut.

“Tapi kita tidak tahu siapa orang tua bayi ini, dan kau lihat keadaan ekonomi kita yang pas-pasan. Apakah kita mampu merawat bayi ini seperti anak kita sendiri? Aku tidak mau Lastri, lebih baik kau serahkan saja kepada pihak yang berwajib agar kita aman. Lagian, aku tidak sudi menafkahi bayi yang bukan darah dagingku sendiri,“ jawab Basri dengan nada suara tinggi.

“Heeeh Basri, apakah kau lupa bahwa masalah kita belum punya anak itu bersumber dari dirimu? Dua tahun yang lalu dokter memvonismu mandul sehingga kita tidak akan mempunyai anak sampai kapan pun. Asal kau tahu Basri, aku bisa saja meninggalkanmu saat itu, tapi aku tidak melakukannya dan rumah tangga kita berjalan seperti biasa, bukan? Sekarang kau turuti saja kemauanku untuk membesarkan bayi ini seperti anak kita sendiri. Masalah keuangan biarkan aku yang mengaturnya,“ ujar wanita gemuk itu tak kalah keras dari suaminya.

Kini Basri hanya bisa diam mematung. Istrinya me- ngatakan hal yang benar bahwa dirinya mandul dan tidak akan bisa memperoleh keturunan sampai kapan pun. Namun, untuk merawat seorang bayi yang tidak diketahui siapa orang tuanya itu pun membuat hatinya berat untuk mengikuti keinginan istrinya itu. Basri merutuk dirinya, mengapa mereka yang harus menemukan bayi itu, bukan orang lain saja yang menemukannya? Kini, Basri meng- hadapi dilema dan harus memilih apakah membiarkan istrinya mengambil bayi itu, atau mereka selamanya tidak akan mempunyai anak? Setelah merenung dan mempertimbangkan masak-masak, Basri sadar bahwa niat istrinya tidak mungkin lagi bisa dihalanginya.
***

Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun berganti, bayi yang mereka rawat kini sudah tumbuh menjadi anak perempuan yang sangat cantik jelita. Usianya sudah genap sepuluh tahun. Lastri sangat memanjakan anak itu seperti anak kandungnya sendiri. Kebiasaan buruknya yang suka menghambur-hamburkan uang, kini sudah terkubur oleh kebahagiaan tiada terkira karena kehadiran Shifana. Yah, anak cantik berwajah putih bersih itu diberinya nama Shifana.

Shifana tumbuh menjadi anak yang periang, banyak teman, bahkan sangat ramah terhadap masyarakat di sekitarnya. Semua orang tahu bahwa Shifana bukanlah anak kandung Lastri dan Basri. Namun, tak satu pun dari mereka yang membocorkan rahasia itu kepada si cantik Shifana. Shifana hanya tahu bahwa Lastri adalah ibunya dan Basri adalah ayahnya. Shifana kecil sangat menyayangi kedua orang tuanya melebihi siapa pun di dalam hidupnya. Setiap hari ia habiskan untuk bermain bersama ibunya. Entah itu bermain dengan kucing, boneka, atau bersepeda ria mengelilingi perkebunan teh yang menghampar luas di belakang rumahnya.

Kebahagiaan Lastri yang diidamkannya selama hampir sepuluh tahun, kini sudah tercapai dengan kehadiran Shifana, bocah berwajah cantik itu. Kebiasaannya yang dulu suka dandan berlebihan kini hilang tertelan waktu. Bahkan, tak jarang Basri merasa cemburu karena istrinya lebih sibuk merawat Shifana dan mengabaikan dirinya selama sepuluh tahun terakhir ini. Basri juga sering bersikap kasar kepada anak malang itu jika Lastri tidak ada di rumah. Shifana hanya berdiam diri tak melawan ayahnya sepatah kata pun.

Sepuluh tahun telah berlalu. Kini Shifana sudah tumbuh menjadi gadis dewasa yang anggun dan berwajah sangat cantik. Keanggunannya semakin memesona dengan kedua mata yang berwarna biru kecokelatan. Entahlah, banyak orang yang bilang bahwa Shifana seperti anak blasteran antara orang Indonesia dengan orang dari benua Eropa karena warna bola matanya tidak sama dengan bola mata orang Indonesia pada umumnya.

Namun setiap kali ada orang yang bertanya tentang Shifana, Lastri selalu mengalihkan pembicaraan untuk menjaga perasaan putrinya itu. Di usianya yang masih belia saja, sudah lebih dari tiga orang kepala keluarga yang datang melamar Shifana untuk dinikahkan dengan putra mereka. Gadis bermata biru kecokelatan itu selalu menolak halus dengan alasan ia belum siap menikah. Lastri sendiri belum siap untuk melepas putrinya untuk menikah. Wanita berbadan gemuk itu masih sangat membutuhkan Shifana untuk menemani masa tuanya kelak karena ia tak memiliki harta berharga selain Shifana.
***

Mohon maaf bila ada salah kata atau ucapan dalam penulisan kami ......

Untuk melihat kegiatan kegiatan TBM LENTERA HATI  lihat saja  DI SINI ya ..........
Untuk melihat puisi - puisi lainnya silahkan klik DI SINI
Untuk membaca cerita atau cerpen silahkan klik DI SINI
Untuk download Software,Game,atau Video tingggal klik DI SINI
Bagi yang suka baca berita seputar Indramayu silahkan klik DI SINI
Untuk yang suka membaca Novel DI SINI

Terima Kasih sudah mengunjngi Blog kami TBM LENTERA HATI
Kami tunggu Kritik dan Sarannya  !!!
**
Untuk teman teman yang mempunyai cerpen, puisi, novel, dan lainnya juka ingin di publish di sini silahkan kirim file nya ke email : tbm.lenterahati@gmail.com

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form